“Alhamdulillah, besok waktunya pulang.”

Semenjak jauh dari rumah, kepulangan selalu menjadi rutinitas yang saya senangi. Setelah sekian lama hidup sendiri di luar kota, akhirnya saya bisa kembali ke rumah. Ketoprak, nasi goreng pinggir jalan, dan bubur ayam kesukaan yang tidak saya temukan di Surabaya seakan sudah memanggil-manggil saya dari kejauhan.

***

Pagi itu, bandara terlihat sepi. Yusuf, teman yang biasanya menemani saya pulang sudah berangkat lebih dahulu. Karena ketidakkompakan kami, tiket pulang yang harusnya kami beli, entah mengapa berbeda waktu. Saat itu, saya duduk di ruang tunggu keberangkatan. Suasana sepi ini terlihat tak biasa. Saya mencoba mencerna kenapa bandara yang seharusnya ramai bisa sesunyi ini. Oh, mungkin karena pandemi, tak banyak orang yang memilih  .

Waktu saya berangkat tersisa dua jam lagi. Rasa cemas karena ketidakpastian mulai muncul. Saya kemudian berinisiatif bertanya pada maskapai apakah penerbangan saya akan berangkat tepat waktu atau tidak. Hari itu, petugas keamanan sepertinya sedang baik hati. Saya bisa masuk untuk bertanya pada pihak maskapai tanpa pemeriksaan keamanan. Mungkin karena saya terlihat tidak membawa apa-apa.

“Mohon maaf, Mas. Penerbangannya kita tunda sampai besok karena cuaca di Jakarta sedang memburuk,” ujar petugas maskapai yang menjawab kecemasan saya yang tiba-tiba muncul.

Entah saya harus senang atau sedih. Saya belum memutuskan akan ke mana selanjutnya. Saya memang berniat pindah kos setelah ini. Karena itu, kunci kos saya yang lama sudah saya kembalikan ke pemilik.

Ketika keluar dari bandara, saya melihat mobil yang familier. Benar saja, itu mobil keluarga saya. Di dalamnya ada Ayah, Mama, dan adik-adik saya.

“Kak, besok kita pulang naik mobil aja. Sekarang kita nginep dulu aja di hotel,” kata Mama sambil membuka kaca mobil.

Kebetulan macam apa, ini?

***

Sampai hotel, Mama sibuk merapikan baju untuk besok dan Ayah terlihat sedang mengatur televisi agar sesuai dengan saluran yang diinginkan adik saya. Dada saya berdesir. Sudah hampir setahun saya tidak bertemu Ayah. Ia sedang berada di luar kota saat saya pulang ke rumah semester sebelumnya.

Setelah selesai memilih saluran televisi, Ayah melihat saya. Tatapan Ayah tak pernah sehangat itu sebelumnya. Saya refleks memeluknya. Pelukan hangat dari anak yang rindu. Ayah pun menyambut. Ia tak bilang apa-apa, tetapi saya bisa merasakan hal yang sama: ia juga rindu.

Beberapa saat kemudian, semuanya terlihat gelap.

Ponsel saya bergetar tanda pesan masuk. Ada beberapa pesan.

“Coba tidur, deh. Biar ndak terlalu capek.” Pesan itu masuk ke ponsel saya pada pukul 13.40.

Saya mengusap mata sambil mencoba memahami keadaan. Saat ini, jam menunjukkan pukul 15.09. Lumayan, saya bisa tidur beberapa menit.

***

“Eh, hari ini tuh hari peluk internasional, tau!” kata Mbak Dessy di tengah acara Belajar dari Rumah.

Saya penasaran dan mengecek kebenarannya di Google. Benar, ternyata.

Saya mohon izin mematikan kamera Zoom. Saya menatap jauh ke tembok depan laptop sambil tersenyum kecil.

 

Penulis: Mochamad Alviensyah

Penyunting: Ivan Lanin

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.