Beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca tulisan yang menyatakan bahwa kita menangisi diri sendiri, bukan mendiang, ketika ada orang yang meninggal dunia. Sejak itu, saya berusaha tidak menangis dalam menghadapi kematian kerabat atau sahabat. Upaya itu kerap mengalami kegagalan, seperti yang terjadi pekan lalu saat ayah saya wafat.

Ayah tutup usia pada Jumat, 27 Agustus 2021, pukul 22.48, di RS Omni Pulomas, Jakarta Timur, pada usia 75 tahun karena serangan jantung. Ketika membawa Ayah ke rumah sakit, menerima kabar dari dokter yang menyatakan beliau sudah meninggal dunia, serta menyiapkan dan menjalankan pemakaman almarhum, saya berhasil menahan diri untuk tidak menangis. Tangis saya pecah ketika memberikan sambutan di samping makam Ayah di TPU Karet Bivak.

Saat itu, saya mengawali sambutan pendek dengan lancar. Saya mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang menghadiri pemakaman Ayah. Kemudian, dengan singkat saya menceritakan kronologi peristiwa malam sebelumnya, mulai dari telepon Ibu yang panik meminta saya datang pada sekitar pukul sembilan malam hingga momen pernyataan dokter bahwa denyut nadi Ayah telah tiada menjelang pukul sebelas malam. Ketika menutup sambutan dengan meminta doa untuk Ayah dari hadirin, pelan-pelan saya merasa ada hawa hangat yang naik perlahan menuju tenggorokan yang membuat suara saya bergetar, badan saya gemetar, dan butir air mata saya tak terasa mengalir.

Saya sempat terdiam sejenak karena tak mampu melanjutkan sambutan. Saya merasakan tangan seorang kerabat mengelus-elus punggung saya untuk memberikan ketenangan. Saya mencoba kembali melanjutkan sambutan, tetapi lagi-lagi terhenti karena tidak dapat menahan hawa hangat di dalam dada. Setelah kembali mengatur napas, akhirnya saya berhasil menuntaskan sambutan.

Setelah kembali ke rumah, saya berusaha mencari penyebab mengapa saya tiada kuasa menahan tangis. Saya memang bukan menangisi Ayah. Ayah tampaknya akan lebih berbahagia sekarang. Kondisi fisik beliau sudah sangat menurun beberapa tahun belakangan ini. Beliau juga sudah membekali diri untuk menghadap Sang Khalik dengan rajin beribadah salat, puasa, dan mengaji. Saya menangisi diri sendiri yang ditinggal Ayah.

Logika sanggup menahan tangisan ketika kita sadar, tetapi emosi ternyata tetap sulit dikendalikan dengan logika. Menangis membantu meredakan emosi kesedihan. Selamat jalan, Ayah. Sampai bertemu lagi di hadirat Allah.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.