Pernah aku berkesimpulan bahwa orang baik itu tidak ada. Yang ada hanyalah orang berkepentingan. Sebabnya, berdasarkan pengalaman dan pengamatanku, orang-orang hanya menunjukkan sikap baiknya ketika ada sesuatu yang diinginkan meski hal itu tersamar. Jika bukan karenanya, mereka mungkin melakukan kebaikan itu atas dasar keterpaksaan, terjebak kondisi atau situasi, tak ada pilihan lain.

Kesimpulan demikian bertahan cukup lama hingga ada kejadian yang sampai saat ini aku ingat. Pada suatu malam, aku pergi bersama temanku ke Maguwoharjo, dekat stadion kandang PSS (klub sepak bola Sleman). Ketika pulang, temanku itu membonceng temannya, sedangkan motornya aku pakai. Mereka melaju sangat cepat. Aku pun tidak dapat mengikuti mereka.

Sewaktu sampai di Jalan Ringroad Utara, bensin motor yang kupakai itu habis. Ah, sial sekali pikirku. Mengapa harus habis di jalan yang sepi?

Langkah pertama yang kulakukan adalah menghubungi temanku. Akan tetapi, ia tidak membalas pesanku. Ia pun tak mengangkat teleponku. Oleh karena itu, aku berjalan saja sambil menuntun motor dan berharap ada penjual bensin eceran.

Pada saat itu aku sebenarnya cukup takut, bukan oleh hantu, melainkan klitih. Klitih adalah aksi melukai orang lain di jalan raya oleh seseorang atau sekelompok. Berbeda dengan begal, klitih tidak merampas harta korban. Aksi tersebut cukup membuat risau warga Yogya karena tak jarang korbannya meninggal.

Tak terasa aku sudah berjalan hampir satu kilometer. Dari arah belakang, aku dengar ada sepeda motor yang memelankan kecepatannya. Aku sudah hampir pasrah kalau harus mati hari itu. Namun, dalam hati kecil, aku juga berharap bahwa aku masih diberi perpanjangan umur karena aku belum menikah.

Oh, ternyata dunia tidak seburuk yang aku kira. Pengendara motor itu justru berkata, “Mas, mau ke arah mana? Saya dorong (dengan kaki), ya.” Alhamdulillah, aku masih berkesempatan menikah.

Ia mendorong sampai kami menemukan penjual bensin eceran di Jalan Solo-Yogyakarta, sekitar satu atau satu setengah kilometer dari titik awal. Aku pun berterima kasih kepadanya. Setelah itu, ia kembali ke arah Jalan Ringroad Utara.

Seusai kejadian itu, aku mempertimbangkan kesimpulan semula. Ternyata tidak semua orang yang bersikap baik memiliki kepentingan. Jika dipikir lagi, si pendorong tadi bisa saja lewat tanpa memedulikan keadaanku. Ia bisa saja lekas pulang ke rumahnya dan minum teh hangat sambil menonton televisi. Akan tetapi, ia memilih untuk menolongku—mendorong dengan kaki kirinya yang pasti cukup membuatnya lelah. Bahkan, ia tak mengenal aku. Ia tak bertanya namaku. Mungkin, baginya, menolong itu tak peduli siapa. Menolong, ya, menolong saja. Berbuat baik, ya, berbuat baik saja.

Itu agak berbeda dengan kenyataan lain yang juga pernah aku temui. Aku sering menjumpai kiriman media sosial yang memperlihatkan—atau lebih tepatnya memamerkan—kebaikan pengirimnya. Bagiku, kebaikan seperti itu bukanlah kebaikan yang murni. Ada kepentingan yang ingin dicapai, yaitu pengakuan dari orang lain. Padahal, menurut pendapatku, kebaikan tidak membutuhkan pengakuan.

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.