Keputusan tentang Cita-Cita
Sedari kecil, saya tidak pernah punya mimpi yang spesifik. Ketika diberi pertanyaan ingin Ingin menjadi apa?, saya tidak pernah serius menjawabnya. Anak-anak biasanya dengan keras melantangkan profesi yang menjadi impiannya. Namun, saya selalu menjawab penuh keraguan: kadang sutradara, kadang presiden, kadang dokter jiwa, kadang desainer, dan seterusnya. Setiap bulan, jawaban saya berganti-ganti bergantung pada film atau buku apa yang baru saja saya tamatkan.
Ibu saya selalu membanggakan saya karena telah menjadi anak pertama yang bisa membaca di taman kanak-kanak saat itu. Saya membaca sejak umur tiga tahun, jauh sebelum usia prasekolah. Sudah tertebak, cita-cita pertama saya adalah penulis. Keluarga saya banyak merekomendasikan bacaan untuk saya. Setiap hari saya mendongengkan lembar demi lembar dengan semangat. Namun, tidak lama, membaca bukan lagi hal yang istimewa. Penulis pun gugur dalam memberi ambisi kepada anak seperti saya.
Kata orang-orang, sewaktu masuk SD, saya menulis ahli matematika pada kolom cita-cita di dinding kelas. Saya tidak begitu ingat apa yang saya tulis. Namun, saya senang bukan main karena terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba matematika. Saya semangat mempersiapkan diri berminggu-minggu untuk lomba itu. Sayangnya, semangat saya runtuh begitu saja saat kalah bertanding di tingkat provinsi. Saya menghibur diri dengan menonton anime pada salah satu kanal televisi. Anak kecil ini tiba-tiba jatuh hati pada tokoh manga bernama Tsubasa. Karena Tsubasa bermain bola, dengan mudahnya, saya pernah menulis pemain bola pada daftar impian saya. Beberapa minggu setelahnya, saya keranjingan film Petualangan Sherina. Saya sontak berubah ingin menjelajah alam. Lalu, ketika Harry Potter tayang, tiba-tiba (lagi) saya bercita-cita menjadi arsitek berkat kemegahan Hogwarts. Begitu seterusnya.
Impian saya silih berganti dengan cepat. Sungguh inkonsisten. Saat menginjak remaja, guru saya mengatakan sudah waktunya serius memikirkan masa depan yang saya inginkan. Saya bingung dari mana saya mesti memikirkannya. Kebingungan saya terjadi sampai sekarang. Saya sangat sulit untuk serius memikirkannya. Rumornya, menyusun impian dimulai dari apa yang disukai. Sayangnya, berkat cita-cita yang banyak sekali, saya mencoba berbagai hal dan saya menyukai hampir seluruhnya. Saya suka mengobrol, belajar, membaca, berpindah tempat, memanjat tebing, mencoba alkohol, menari, tersesat di hutan, menyelam ke dasar laut, berolahraga, bererempahan, dan banyak hal lainnya. Hampir tidak mungkin saya memilih salah satunya. Seorang teman mencoba membantu kebingungan itu. Ia bertanya, “Kira-kira apa hal yang membuatmu sedih jika itu dicabut dari hidupmu?”. Jawaban saya tegas, “Tidak ada.” Kalau memang mesti dicabut, cabutlah. Meskipun berkali-kali saya memikirkan kemungkinannya, jawaban saya tetap.
Saya takut ada yang salah dengan spektrum emosi saya. Dugaan terbesar saya, itu karena saya mudah menyerah sedari kecil. Saya pesimistis dan demotivasi. Anehnya, saya tidak menganggap itu sebagai keburukan. Kemungkinan lainnya, saya memang tidak pernah bermimpi berumur panjang. Itu bukan berarti saya ingin mati sekarang juga, melainkan masa depan selalu tampak buram untuk saya. Asal menjadi orang yang berguna, hidup dari hari ke hari lebih cocok saya pikirkan. Saya senang dengan kejutan dan perasaan impulsif serta menduga-duga. Saya baru tahu belakangan dan saya nyaman saja.
Saya kagum melihat orang yang serius menentukan masa depannya. Kok, saya tidak punya ambisi itu, ya? Saya ingin tahu rasanya. Bagaimana cara mereka menemukan apa yang ingin mereka lakukan?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.