Kesan Pertama di Narabahasa
Teman-teman saya tahu betapa cintanya saya dengan membaca. Sejak kecil, saya gemar membaca berbagai jenis tulisan, mulai dari cerpen anak-anak dalam majalah Bobo, novel anak KKPK, novel remaja (teenlit), novel terjemahan, buku pengembangan diri, hingga buku keuangan. Bagi saya, membaca adalah cara menyembuhkan penat.
Sebagai buah dari hobi membaca, saya sempat tergerak untuk menulis. Saat kuliah dulu, saya sering kali iseng menulis. Apa pun saya tulis saat itu, baik curhatan, rangkuman tugas kuliah, maupun cerita pendek. Namun, karena keterbatasan ilmu kebahasaan, saya tidak pernah menerbitkan satu tulisan pun. Saya tidak percaya diri karena tiap membaca kembali tulisan itu, saya merasa ada yang kurang. Oleh karena itu, lulus kuliah berarti “lulus” juga menulisnya.
Berdasarkan kegemaran itu, saya bercita-cita untuk bekerja di kantor kebahasaan, baik di kantor penerbit maupun pelatihan bahasa. Kebetulan, satu bulan setelah kelulusan, saya melihat iklan lowongan pekerjaan di Narabahasa. Setelah mencari tahu ihwal Narabahasa, tanpa pikir panjang saya mengikuti tes tahap pertamanya. Saya merasa bahagia ketika mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya Akan tetapi, pada pengumuman tahap ke-2, saya dinyatakan tidak lolos. Saya merasa kecewa karena berarti cita-cita untuk bekerja di perusahaan kebahasaan belum bisa tercapai saat itu.
Setelah mendapatkan pengumuman tersebut, rutinitas saya kembali ke awal: pagi hari menjadi pencari kerja; siang hingga malam melakukan kegiatan harian di rumah. Namun, tepat satu bulan setelah itu, ada telepon masuk dari nomor tidak dikenal yang ternyata Narabahasa. Saya kaget karena tiba-tiba mendapat kesempatan untuk wawancara. Karena terlalu senang, saya pun bingung akan mengenakan baju apa, padahal yang terlihat hanya sebatas muka dan setengah badan yang tertutup jilbab. Setelah wawancara selesai, saya berpikiran positif sekali saat itu. Pada pukul 19.00, saya mendapat konfirmasi bahwa saya diterima bekerja di Narabahasa. Saking senangnya, saya tidak bisa tidur karena akan memulai karir di Narabahasa.
Ketika pertama kali masuk Narabahasa, saya sadar betapa kurangnya kemampuan berbahasa saya, padahal bahasa Indonesia adalah bahasa ibu bagi saya. Namun, sekadar menulis terima kasih dengan benar saja saya belum bisa saat itu, belum lagi detail-detail lain, seperti penempatan di– yang disambung dan di yang dipisah. Saat menyadari banyak kekurangan, jujur saja, saya sedih sampai bertanya-tanya, “Kenapa, ya, saya salah terus?”
Saat saya sedang mempertanyakan hal itu, tiba-tiba ada pesan masuk melalui WhatsApp. Ada orang yang memberi saya ilmu dasar untuk menulis dengan baik dan benar. Walau hanya dasar, itu sangat berarti bagi saya yang sangat awam. Orang itu adalah Mbak Dessy. Kalau Mbak Dessy membaca tulisan ini, saya ingin bilang, “Terima kasih, ya, Mbak.” Berkat “kelas kilat” Mbak Dessy waktu itu, saya jadi tahu dasar-dasar menulis dengan baik dan makin tergerak untuk belajar menulis dengan lebih baik lagi.
Dari hal tersebut, saya menjadi yakin bahwa masuk ke Narabahasa bukanlah pilihan yang salah. Justru bekerja di Narabahasa membuat saya banyak belajar, mulai dari yang tadinya tidak bisa merangkai kata dengan baik sampai bisa menulis sepanjang ini. Itu adalah salah satu pelajaran yang saya terima dari bekerja di Narabahasa. Memang, sih, tulisan ini belum sempurna. Namun, saya tetap bangga dan akan terus melanjutkan menulis. Terima kasih, ya, Narabahasa, sudah mau menerima saya yang banyak kurangnya.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.