Kisah Masa Pandemi
Pada Maret 2020, selesai sudah masa studi sarjanaku. Aku akhirnya sah menjadi seorang sarjana. Kala itu ambisiku begitu besar untuk bisa lanjut ke pendidikan S-2. Ternyata, satu pekan usai masa wisuda, Allah takdirkan wabah COVID-19 hadir di Indonesia. Aku masih jelas mengingat masa-masa itu. Semua akses terpaksa ditutup. Aku sudah cemas, jangan-jangan pandemi ini berlangsung lama. Sampai akhir Maret, informasi beasiswa yang kunantikan tidak kunjung ada. Aku yang tadinya tenang mulai merasakan kecemasan.
Secara tidak sengaja, aku mulai berselancar di salah satu media sosial: LinkedIn. Aku ingin melengkapi portofolio di platform ini. Ternyata saat itu LinkedIn sedang ramai-ramainya membahas fresh graduate. Aku menjadi candu untuk mengikuti isu ini. Aku merasa seperti memiliki teman seperjuangan yang sedang berjuang sama-sama. Singkat cerita, ada satu unggahan yang membuatku berpikir. Unggahan itu simpulannya tentang pilihan rekruter ketika ada dua kandidat: yang satu S-1 punya kemampuan, sedangkan yang satunya lagi S-2, tetapi minim kemampuan. Hasil pilihannya ternyata mengarah ke kandidat S-1. Sontak, pikiranku langsung mengatakan, “Apa aku cari kerja aja, ya?”
Aku merasa Allah sedang mengajarkan satu hal tentang menghadapi realitas hidup yang tidak bisa semuanya berjalan mulus-mulus saja. Mungkin ini pertama kalinya aku merasakannya sehingga gejolak untuk menolak itu masih tetap ada. Aku bersyukur bahwa saat itu keluargaku mendukung penuh pilihanku. Akhirnya aku memutuskan untuk berdamai dengan realitas yang saat itu sedang kuhadapi. Aku memulai untuk mencari pekerjaan.
Masalah baru muncul. Lowongan untuk satu posisi diminati ratusan bahkan ribuan pelamar. Asli! Aku benar-benar tidak membayangkan seperti ini realitasnya. Bagaikan mencari jarum dalam tumpukkan jerami.
Dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, aku belajar banyak hal. Salah satunya, saat sudah melamar kerja di satu perusahaan, kita harus cepat-cepat move on. Kita tidak perlu menunggu jawaban karena hal paling buruknya, ya, lamaran pekerjaan kita dianggap angin-anginan.
Aku menikmati pencarian kerja dari April sampai dengan Mei 2020 itu. Itu benar-benar menjadi pengalaman hidup yang tidak terlupakan. Sambil melamar kerja, aku memiliki aktivitas lain, yaitu berjualan sepatu dan paket lebaran. Selain itu, ada dampak baik dari pandemi bahwa ternyata beberapa lembaga membuka kelas-kelas yang tidak berbayar alias gratis. Dari sini aku jadi sadar kalau belajar itu tidak melulu ada di sebuah universitas. Pantas saja ada petuah yang berbunyi “belajar sampai akhir hayat”.
Singkat cerita tentang lamar-lamar pekerjaan ini, aku memperoleh informasi perekrutan Narabahasa dari kakak tingkatku. Beberapa evaluasi sudah aku lakukan untuk memperbarui daftar riwayat hidup (DRH) yang akan aku kirimkan untuk melamar di Narabahasa. Jujur, saat itu aku tidak tahu kalau Narabahasa milik Ivan Lanin. Aku baru tahu saat setelah selesai melakukan serangkaian proses seleksinya. Beliau banyak membantu penyelesaian mata kuliahku. Terima kasih, Uda. Lalu, aku jadi ingat kalau pernah berusaha berebut tiket seminar demi melihat Ivan Lanin. Aw, malu. J
Aku percaya tentang rezeki itu sudah ada yang mengatur. Kali ini lamaranku di Narabahasa tidak sampai membuatku menunggu lama untuk diterima bekerja. Aku jadi ingat dengan ucapan Bapak saat awal berkuliah, “Enggak perlu mikir kerjaannya apa. Jalani saja dengan sebaik-baiknya. Libatkan Allah supaya aktivitas yang kita lakukan ini jadi sarana beribadah. Jadi, kamu akan ikhlas apa pun situasi yang akan dihadapi nantinya.”
Kalau dipikir-pikir, jika saat itu aku masih memenuhi keegoan diriku, aku tidak akan pernah merasakan pengalaman revisi CV, wawancara, mengerjakan tes-tes psikotes, dan mungkin tidak pernah merasakan bekerja bersama dengan Ivan Lanin. J
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.