Korban Iklan
Menjelang tanggal 9 September 2021, lini masa media sosial saya penuh dengan iklan berisi promo potongan harga dari penjual makanan, pakaian, hingga barang elektronik. Tampaknya, banyak toko mengambil momen 9 September atau 9.9 ini sebagai ajang untuk menggaet pelanggan.
Pelanggan pun tidak tinggal diam. Sepupu saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang sudah menantikan momen tersebut untuk membeli berbagai keperluan.
“Lumayan. Harganya jauh lebih murah, lo,” jelasnya.
“Mana? Coba lihat beli apa saja?” tanya saya sembari mengintip ponselnya.
“Nih,” kata sepupu saya sambil menyodorkan isi keranjang belanjanya di salah satu lokapasar.
Saya hitung ada sepuluh barang yang ia beli. “Ngapain beli banyak barang? Memang semua itu kebutuhan mendesak?” omel saya.
“Perlu, kok. Lagian mumpung murah tau. Kemarin, aku liat iklan Zalora lagi ada diskon gede, tuh. Nggak mau beli?” tanyanya.
“Ngga, ah. Baju banyak yang belum dipake gara-gara di rumah terus,” balas saya.
Sepupu saya bisa dibilang sering menjadi korban iklan. Orangnya mudah tergiur dengan promo-promo menarik. Pada suatu waktu dia pernah menjadi korban iklan suatu alat kesehatan. Seperti biasa, dia berusaha meyakinkan saya bahwa alat itu benar-benar dapat berfungsi dan menawarkan manfaat yang baik untuk kesehatan. Saya, sih, seperti biasa, meragukan keputusannya karena sudah beberapa kali barang yang dibelinya dengan embel-embel promo “gagal”. Benar saja, barangnya sampai di rumah dengan kondisi yang memprihatinkan. Tombolnya rusak dan, ketika disambungkan ke colokan listrik, tercium bau kabel terbakar. Saya bingung mau tertawa atau prihatin.
Dari peristiwa tersebut, saya coba untuk merenungi iklan. Saya penasaran, kok bisa, ya, iklan itu dibuat sedemikian rupa sampai orang seperti sepupu saya rela membeli suatu barang. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, barangnya ndak bagus-bagus amat. Standar, lah.
Akhirnya, saya coba iseng mencari informasi seputar iklan. Ternyata, pembuatan iklan itu erat kaitannya dengan unsur psikologis manusia. Salah satunya adalah dengan menerapkan dimensi budaya milik Schwartz (Schwartz’s cultural dimension). Menurut Xiong (2014), perilaku seseorang ketika melihat iklan daring bergantung pada nilai budaya tiap individu. Bisa jadi iklan yang sepupu saya lihat mengangkat nilai budaya yang sesuai. Alhasil, iklan tersebut berhasil mendorong sepupu saya untuk membeli.
Ternyata, mempelajari iklan itu cukup menarik. Saya jadi tahu bahwa para pembuat iklan di luar sana tidak hanya memperhatikan aspek visual saja (warna, tata letak, ikon), tetapi juga melibatkan aspek psikologis manusia.
Saya pun menceritakan aspek tersebut kepada sepupu saya. Saya kira ia akan sadar dan mulai mengurangi hasratnya untuk berbelanja barang yang tidak penting ketika promo. Nyatanya, ia dengan enteng menjawab, “Riset yang bagus, kawan. Sekarang ayo temenin berburu promo lagi.”
Sumber:
Xiong, Chichang, “A Functional Approach to Schwartz’s Cultural Dimensions: Persuasive Appeals Corresponding to Individual Cultural Values” (2014). ETD Archive. 582.
https://engagedscholarship.csuohio.edu/etdarchive/582
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.