Layar
Kemarin malam aku bercakap-cakap tentang Piala Eropa dengan seorang teman indekosku di sebuah angkringan pinggir Jalan Parangtritis, dekat Jalan Lingkar Selatan yang baru saja disekat. Kami membahas kemenangan Italia atas Spanyol. Kekuatan Italia memang tidak perlu diragukan. Mereka sangat diunggulkan pada gelaran kali ini. Sementara itu, Spanyol terasa biasa saja. Kata temanku, masa emas mereka telah berlalu.
Aku pun teringat akan kejayaan Spanyol. Waktu itu, ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama pada 2010, Spanyol menjadi juara Piala Dunia. Aku turut senang atas kemenangan mereka walaupun aku tak ingat siapa saja yang menjadi pemain kala itu.
Piala Dunia 2010 itu memang mengesankan, bahkan dianggap sebagai turnamen sepak bola dunia terbaik oleh sebagian orang. Bola Jabulani, Paul si Gurita Peramal, dan lagu tema yang energik dan mudah diingat—dari Shakira dan K’Naan—adalah tiga dari sekian banyak pemeriah yang membuat suasana Piala Dunia 2010 susah dilupakan.
Selain Piala Dunia 2010, ajang sepak bola lainnya—entah Piala AFF atau Piala AFC—juga membekas dalam ingatanku. Lebih tepatnya, bukan nama ajangnya, melainkan peristiwa dan suasananya.
Ketika itu, aku masih seorang bocah sekolah dasar di suatu desa di antara Gunung Kawi dan Gunung Kelud. Sebagaimana anak desa seusia itu, aku dan juga teman-temanku sangat senang bermain sepak bola. Hampir tiap sore kami bersepak bola di lapangan yang terletak di depan satu-satunya taman kanak-kanak di dusun kami. Kami bermain bola tanpa alas kaki dan tanpa seragam. Permainan tidak dihitung dua kali 45 menit. Batas waktu kami hanyalah azan magrib.
Kami yang sangat menggilai sepak bola merasa makin gila ketika ada layar tancap yang menyajikan pertandingan Indonesia melawan negara lain. Layar tancap yang kemunculannya sangat jarang itu diadakan di tengah lapangan yang biasa kami gunakan untuk bersepak bola.
Pada waktu itu, warga dari seluruh penjuru dusun datang menonton. Suhu yang amat dingin tak terlalu dipedulikan. Kami, para anak, remaja, dan orang tua, hanya sibuk menonton dan menyoraki tiap peluang atau kesalahan dari pemain.
Kebersamaan seperti itu kini menjadi hal langka. Aku kadang merindukannya.
Sekarang, layar tancap sudah tak lagi populer. Masihkah ada? Aku tidak tahu. Yang kutahu, tiap orang punya layarnya sendiri-sendiri pada masa ini. Apakah itu buruk? Tidak juga. Namun, memang terasa bahwa ada sesuatu yang hilang.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.