Menuju Pulang
“Dengan nyanyian, dengan tarian
Dengan segala rasa yang sederhana”
Dua baris di atas merupakan penggalan lirik lagu berjudul “Kerinduan” karya salah satu band penyejuk yang berasal dari Depok. Payung Teduh namanya.
Zaman dahulu kala, untuk berangkat dan pulang sekolah, aku harus menaiki Bus Mayasari Bakti rute Bekasi Timur—UKI yang identik dengan warna hijau dan oranye berkode 9BT. Bus dan lagu “Kerinduan” itulah yang setia menemaniku pulang dari sekolah yang berjarak cukup jauh dari rumah.
Hampir setiap saat perjalanan pulang aku selalu memutar lagu milik Payung Teduh tersebut. Pasti kalian bertanya-tanya, “Lho? Kenapa saat berangkat enggak dengerin lagu?” Ya, karena biasanya aku berangkat sehabis salat subuh sehingga perjalanan pergiku kuhabiskan untuk tidur di pundak penumpang yang berada di sebelahku. Sampai kadang air suci kehidupan mengalir halus dari mulutku ke pundak mereka. Aku hanya berharap mereka mengerti dan memaafkan ilerku itu.
Sepanjang perjalanan menuju Bekasi, tak bosan-bosannya lagu itu kuputar ulang sambil menikmati permen jahe yang kubeli dari anak kecil yang kemungkinan besar dipaksa jualan oleh orang tuanya.
“Dengan nyanyian, dengan tarian
Dengan segala rasa yang sederhana”
Apakah rindu memang serumit itu? Penulis lagu tersebut seperti sedang kebingungan. Ia resah dengan apa yang ia rasa, seperti rindu yang tak kunjung sampai. Nyanyian dan tarian bahkan tak sanggup untuk meluapkan rasa itu. Namun, pada bagian akhir ia sampai pada simpulan bahwa rindu itu adalah sesuatu yang sederhana dan tercampur dengan berbagai “kesegalaan”. Ya, memang yang sederhana kadang tak mampu diucap, bahkan dengan nyanyian juga dengan tarian.
Dari situ aku berpikir bahwa rindu itu sebenarnya sesuatu yang sederhana, tetapi dipenuhi kerumitan yang indah. Banyak yang berkata bahwa obat rindu adalah dengan bertemu. Ha? Aku hanya bisa tertawa geli. Kasihan penulis lagu tersebut jika ada yang menyampaikan kalimat barusan kepadanya. Ia pasti akan berkata bahwa rindu tidak sesederhana itu. Sama seperti kalimat terkenal dari Pak Sapardi “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana” yang kemudian dikomentari oleh Pak Joko Pinurbo “Mencintai dengan sederhana itu adalah mencintai yang paling tidak sederhana“. Sepertinya, Pak Jokpin mengerti maksud sang penulis lagu.
Belum puas aku berdebat, tiba-tiba terdengar suara kencang dengan logat medan yang kental.
“TIMUR TIMURR MUR MUR TIMURRR, BEKASI TIMUUURRRRRRR”
Sebuah bel manual dari mulut kenek sudah berbunyi. Itu merupakan tanda bahwa aku sudah sampai di Bekasi Timur, tempat perhentian khayal. Ya, sudahlah, akan aku pikirkan pada lain waktu perihal rindu yang rumit ini. Sekarang, aku hanya ingin turun dari bus ini dengan sederhana.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.
Kereeen, tapi kata “ilerku itu” lebih baik dihapus. Biarkan imajinasi pembaca yang bermain.
“Sampai kadang air suci kehidupan mengalir halus dari mulutku ke pundak mereka. Aku hanya berharap mereka mengerti dan memaafkan.”