Sejak lahir sampai berumur tujuh belas tahun, saya tidak pernah langgeng dengan hunian. Saya menetap maksimal dua tahun di setiap hunian. Mengenali orang baru, sifat baru, dan candaan baru sudah menjadi rutinitas tahunan bagi saya.

Sampai umur empat belas tahun, saya juga belum mengenal apa itu cinta. Keajaiban hadir saat saya pindah ke Tangerang. Taman Ubud Loka, sebuah kompleks rumah sederhana, menjadi saksi keajaiban itu terjadi. Setelah enam bulan menjadi warga di sana, setiap sore saya selalu bermain bola dengan teman-teman di lapangan. Namun, pada suatu hari, ada sosok wanita berambut pendek dan menggunakan kacamata. Ia mengayuh sepeda mengelilingi lapangan, membuat saya perlahan-lahan berhenti menggiring bola. Lalu, napas saya seolah-olah terasa berhenti. Saya membutuhkan 2—3 menit untuk tersadar kembali. Kondisi saya ibaratkan panel listrik yang berbunyi, “Tit … tit … tit …,” kemudian lampu pun padam karena token listrik sudah habis.

Semenjak hari itu, semua pikiran saya terasa buyar. Pergi ke sekolah tersesat tidak tahu arah. Saat disapa penjaga kasir Indoma***, saya tidak membalas sapaannya. Namun, sayangnya, setelah hari ajaib itu, dia tidak pernah muncul ke lapangan lagi. Hari-hari saya pun makin terasa buyar. Es teh manis terasa tawar. Bahkan, permen NANO NANO terasa sepi rasanya.

Tiga bulan berlalu, Ibu saya membuka usaha makanan. Setiap pagi, Ibu menjual nasi uduk di kompleks rumah. Pada suatu pagi dengan rintik hujan yang turun sedikit demi sedikit, saya mengantar pesanan makanan dengan sepeda. Sesampainya di alamat sang pemesan, saya mengarahkan jari telunjuk ke bel rumah itu.

“Ting .…”

Entah kenapa saya merasa sangat tegang. Jantung saya berdebar-debar dan badan saya berkeringat dingin. “Ya, mungkin karena cuaca sedang mendung,” ujar saya pada diri sendiri.

Tidak berapa lama, terdengar percakapan dua wanita dari balik pintu itu.

“Mamih, itu makanan sudah sampai.”

“Iya. Jen, tolong terima makanannya. Uangnya di laci dekat pintu.”

Pintu itu pun terbuka ….

Jeglek.

Ternyata sosok wanita yang selama ini saya cari keluar dari balik pintu itu. Hari ajaib itu pun terjadi lagi. Perlahan-lahan saya berhenti berpikir. Saya mematung di depan pintu.

“Halo? Halo, Kak?” ujar wanita itu.

“Oh. Iya. Ini ta … ta … tadi pesan nasi uduk, ya?” ujar saya gelagapan.

“Iya, Kak. Ini uangnya. Terima kasih,” ujar wanita itu.

Pagi itu, dalam perjalan pulang dengan mengayuh sepeda, hati saya sangat gembira. Saya merasa seperti dapat memeluk erat pelangi di atas langit yang syahdu.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.