Pecandu Buku
Apa yang terlintas dalam pikiranmu ketika mendengar “pecandu buku”? Kalau dalam pikiran saya, istilah tersebut merupakan klaim berlebihan, arogan, congak, serta nan sok pintar. Namun, enam tahun lalu, sejumlah orang telah bersepakat meresmikan istilah tersebut menjadi sebuah komunitas. Peran saya ialah berpura-pura urun pendapat sekaligus protes dan berakhir manut juga.
Kemunculan kami di Bandung saat itu bukan berita menggembirakan. Kami dianggap sungguh paradoks. Pasalnya, kami menjadi anak bawang karena kebanyakan dari kami tidak candu-candu amat, bahkan lebih memilih menonton atau main gim dibanding memegang buku. Ironinya, isi grup WhatsApp kami kebanyakan gosip dan berbagi meme. Dibanding komunitas literasi lain, misi mulia kami hanya satu dan terdengar dangkal, yaitu ingin menggarangkan lagi buku dan budaya membaca. Itu pulalah yang menjadi alasan mengapa kata “candu” tetap dipilih. Sebuah kata yang netral, tetapi tidak bebas nilai. Streotip kata “candu” yang dibentuk di masyarakat sudah terbukti negatif, tetapi di lain sisi kata itu menarik. Cocok untuk menjadi keren. Menyandingkannya dengan kata “buku” adalah tindakan yang semena-mena cukup strategis. Dua kata itu cukup mewakili misi kami.
Profesor Bambang Soegiharto, seorang guru besar Fakultas Filsafat Unpar, dalam pembukaan Bandung Readers Festival 2019, pernah mengatakan, Indonesia itu hanya bebas buta huruf, tetapi untuk memahami konteks bacaan, jauh tertinggal. Ia menambahkan pemaparan tentang ‘untung-rugi’ membaca serta berujar dukungan kepada insan-insan literasi untuk selalu menumbuhkembangkan minat membaca di Indonesia. Setelah Prof. Bambang menyelesaikan pidatonya, saya malah gugup sendiri. Beginikah nasib kami—pecandu buku, untuk turut andil dalam tanggung jawab itu?
Sebagian besar dari kami sadar bahwa membaca buku itu bukanlah hobi, melainkan kebutuhan. Namun, kami tidak mampu memaksa kebanyakan orang berpikir dengan cara yang sama. Bagi kami yang berada pada level komunitas, ada orang yang memegang buku saja, kami sudah bersyukur bukan kepalang. Kami tidak pernah berkeberatan dengan tujuan apa pun seseorang membaca buku, misalnya menjadi pintar, menambah pengetahuan, atau untuk tugas kuliah. Kami tentu senang menerima niat itu. Atau, seseorang yang bertujuan lain, seperti ingin terlihat edgy atau bahkan untuk dipuji, kami juga tetap senang mendengarnya. Dengan niat apa pun atau cara yang bagaimanapun bukan masalah besar bagi kami. Yang jelas, kami bahagia dengan cara sederhana; melihat orang menunduk untuk membaca bukan menunduk untuk mengecek media sosial. Kami agak enggan merepotkan diri dengan misi lain.
Komunitas yang kami bentuk sudah menginjak enam tahun. Beberapa anggota sudah tidak kecanduan, beberapa lagi kecanduan sendirian, sisanya kecanduan pada hal lain. Lalu, seperti anak berusia enam tahun, kami sedang lucu-lucunya dan mulai belajar banyak hal. Kemarin kami jatuh, lalu belajar, dan kami bangun lagi. Hari ini kami berkelahi, belajar, dan kami berbaikan lagi. Besok kami mengadu, dimarahi, belajar, dan bercanda lagi. Begitu saja berulang-ulang karena begitulah seharusnya. Sudah wajar sekali kami banyak bermain dan tidak jarang terpeleset lantas menangis. Termasuk kali ini, kami sedang terpeleset dan besar kemungkinan menangis terus menerus—persis seperti anak-anak yang bakal mendewasa.
Selamat ulang tahun, pecandu buku. Perbanyak senang-senang, menangis itu kurang keren.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.