Perjalanan Menuju ke Sana: Mencari Kurir (Bagian 2)
Setelah seharian lebih mengorganisasi barang-barang yang saya gunakan, kamar saya terasa sepi. Hanya tersisa beberapa barang yang akan saya tinggal di sini. Sekarang, masalah selanjutnya menunggu untuk dipecahkan. Kurir apa yang akan saya gunakan untuk mengirim barang-barang ini kelak? Jika ditotal, berat seluruh barang bawaan yang harus saya kirim berkisar 25 kg. Barang-barang itu terpisah menjadi 2 kardus ukuran sedang, 2 kantong besar, dan 1 koper berisi beberapa barang. Kalau diingat-ingat, ini sepertinya akan menjadi pengiriman terbanyak saya selama hidup.
Sekarang, saya memikirkan kira-kira kurir apa yang aman dan tidak terlalu mahal untuk mengirimkan semua “kekacauan” ini. Saya jelas tidak bisa menggunakan kurir konvensional karena mungkin akan memakan biaya yang sama dengan biaya perjalanan saya pulang pergi Surabaya—Tangerang dengan kereta eksekutif. Akan tetapi, saya juga tidak mau menggunakan kurir yang tidak jelas reputasinya. Memang, manusia terlalu banyak mau.
Setelah berpikir, sepertinya saya akan mengambil opsi kurir yang paling murah. Alasannya karena murah. Alasan lainnya, barang-barang yang saya kirimkan ini hanya beberapa baju dan barang yang tidak terlalu bernilai. Siapa, sih, orang di dunia ini yang mau ambil baju saya? Jadi, ya sudah. Gas pol.
***
Paket itu tidak segera saya kirim. Saya berniat mengirimnya pada h-2 perjalanan saya ke Tangerang. Alasannya agar paket bisa sampai ketika saya juga sampai rumah.
Sore itu, Surabaya hujan cukup deras. Tak biasanya terjadi. Saat itu, memang bukan musim hujan di Surabaya. Biasanya, saking panasnya, Surabaya mempunyai jarak yang lebih dekat dengan Matahari dibanding Merkurius. Hanya saja, bukan itu yang saya pikirkan. Saya harus berangkat menuju kurir pada hari itu. Tidak bisa ditunda lagi. Saya takut kalau ada hal tak terduga yang menyebabkan kurir menolak pesanan saya. Nanti saya malah bingung sendiri karena tidak punya opsi kurir lain.
Ketika sudah pukul 16.00 lebih sedikit, gerimis masih turun. Saya tidak mungkin menunda lagi. Kalau tutup, saya bisa jadi harus mengundur jadwal pulang saya dan yang sudah saya rencanakan dari awal bisa buyar.
Sesudah gerimis, masalah baru muncul. Saya tidak bisa membawa paket ini secara langsung. Minimal harus tiga kali bolak-balik. Ya sudah, saya bawa dua kardus untuk kloter pertama. Pengemasan paket ini cukup baik sehingga saya cukup yakin ini bisa menjadi “acuan” kelancaran pengiriman paket saya.
Dengan harap-harap cemas, saya meluncur ke Jalan Srikana. Jalan itu terletak persis di belakang kampus saya. Lokasi ini agak unik. Ia dekat dengan kawasan tempat indekos mahasiswa dan perumahan kumuh warga—kumuh secara harfiah. Terdapat pembuangan sampah dan ada warga yang memiliki tempat tinggal di sana. Padahal, jaraknya hanya satu tembok dari kampus saya.
Saya pun sampai di depan kantor kurir. Kantor itu terlihat kecil. Di jendela, terdapat stiker-stiker yang menandakan bahwa kantor ini telah dialihfungsikan. Yang paling jelas, terlihat stiker SLI dan SLJJ, dua singkatan yang kerap digunakan pengusaha warung telepon, yang dulu sempat jaya, jauh sebelum ponsel pintar hadir ke dunia.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.