Pilihan
Sehari-hari, hidup adalah tentang pilihan. Itu dimulai dari memilih bangun atau lanjut tidursepuluh menit lagi, yang sering kali berujung kebablasan, hingga memilih makan bakso pada siang hari dan menyesal karena masih lapar lagi tiga puluh menit kemudian.
***
Saat itu saya baru lulus SMA. Sama seperti anak-anak yang baru lulus pada umumnya, saya mulai sering mendengar pertanyaan “Mau lanjut ke mana habis ini?” setiap hari. Namun, sepertinya saya bukan anak yang pada umumnya itu. Ketika kawan-kawan saya berlomba-lomba masuk bimbingan belajar yang mahal dan bergaransi—kalau gagal masuk perguruan tinggi, uang kembali—saya malah ikut organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Ndilalah, saya terpilih jadi ketua. Jadi, mana mungkin saya ikut bimbel? Yang ada, saya rapat sepulang sekolah.
Yang lebih ekstrem, saya baru serius belajar pada H-7 ujian nasional. Saya memang punya prinsip bahwa belajar di sekolah, keluar sekolah jangan belajar. Karena prinsip ini, saya jarang sekali secara khusus belajar di rumah—kecuali jika ada ulangan atau mengerjakan pekerjaan rumah—termasuk ketika menghadapi ujian nasional. Hal ini karena saya sudah datang tiga puluh menit lebih awal untuk pendalaman materi.
“Buat apa saya datang lebih awal kalau setelah itu harus belajar sendiri juga?” pikir saya sok idealis kala itu.
Alhamdulillah, saya mengerjakan ujian dengan baik dan dengan nilai yang memuaskan—setidaknya bagi saya. Setelah itu, saya mulai mencari-cari informasi pendidikan lanjut. Singkat cerita, beberapa minggu setelahnya, saya sudah mengantongi status terdaftar dari dua universitas dan satu sekolah kedinasan. Kalau saya sebut nama sekolah kedinasannya, sampai sekarang saya selalu ditanya, “Kenapa enggak masuk situ aja? Enggak bayar, kehidupan juga terjamin.” Saya hanya tersenyum dan menjawab dengan templat jawaban yang sudah saya siapkan.
Saya percaya, yang bisa menjamin hidup, ya, diri saya sendiri. Menggantungkan “jaminan” hidup pada suatu instansi atau lembaga hanya membuat saya menggampangkan keadaan.
Dari ketiga pilihan itu, saya akhirnya memilih melanjutkan ke Surabaya, tempat yang sama sekali belum pernah saya tinggali sebelumnya. Padahal, sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh saya untuk melanjutkan pendidikan ke sana. Saya bahkan tahu nama universitas itu karena diberi tahu kawan saya agar ujian bersama-sama—dan akhirnya dia ngambek karena tidak lolos.
Saat harus memilih, pilihan itu murni hadir dari nurani saya. Saya sangat bersyukur hidup di keluarga yang tidak intimidatif, terutama untuk pilihan hidup. Momen pemilihan pendidikan itu adalah salah satu momen yang saya ingat betul dalam memori saya. Saat itu, saya sedang main ponsel di kamar. Ayah saya mengintip melalui pintu, dan berbicara satu hal penting pada saya.
“Pilihan itu ada di hati kamu. Bagaimanapun, kami berdua enggak menjalani. Kewajiban kami hanya mendukung dan memercayai pilihan kamu sepenuhnya. Kewajiban kamu, ambil ilmu sebanyak-banyaknya dari pilihan kamu,” kata Ayah.
Malam itu, keputusan saya bulat. Saya memilih jalan yang paling sulit. Pergi ke timur Jawadwipa, sendirian dan melanjutkan studi saya sambil belajar dari dunia yang belum pernah saya temui sebelumnya.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.