Katanya, tiap-tiap orang rezekinya sudah diatur oleh Allah. Setiap orang punya porsinya sendiri-sendiri dan tidak akan tertukar. Jujur saja, beberapa hari yang lalu saya sempat meragukan rezeki saya sendiri. “Cukup enggak, ya?” tambah saya. “Kurang enggak, ya, ini?” pikir saya karena mengingat kondisi yang sekarang sudah berbeda.

***

Namanya manusia, kita tak pernah merasa cukup. Ada satu, minta dua. Ada dua, minta 1409. Sepertinya, hal ini sudah diprediksi benar oleh Rasulullah saw. Pada ribuan tahun silam. Setelah ayah istirahat, otomatis, kondisi perekonomian keluarga harus berubah. Saya pribadi harus mengubah orientasi pendapatan saya. Segala pos-pos pengeluaran yang biasanya ada dan kurang penting harus saya hapus. Bagaimana lagi? Saat ini, keluarga yang nomor satu. Saya belajar betul memilah mana pos pengeluaran yang berupa kebutuhan dan mana yang hanya keinginan. Semua pos dengan judul “keinginan” hampir pasti saya hapus.

Dua bulan terakhir, ketika tengah refleksi sendiri sembari mengatur-atur kembali pos pengeluaran dan pendapatan, tak jarang saya berpikir, “Bisa enggak, ya?”

Saya sebenarnya orang yang cukup terencana. Saya sudah merencanakan beberapa hal untuk satu sampai lima tahun ke depan. Kondisi ini membuat saya harus kembali menimbang-nimbang rencana itu, terutama dari sudut pandangnya terhadap pengeluaran keluarga.

Pikiran saya cukup penuh ketika memikirkan hal ini. Ketika sudah seperti ini, salah satu penghibur diri yang saya lakukan adalah ke luar rumah, menghirup udara segar dan gratis dari Allah. Malam itu, saya mengajak adik saya yang paling kecil. Dalam niat saya, kami akan mengendarai motor ke warung serbaada—yang berbentuk seperti mini market kekinian—di dekat rumah. Ia akan sangat senang jika bisa memilih es krim sesuka hati, tanpa memikirkan uang di kantongnya.Iya, lah, saya yang bayarin.

Ia dengan sigap mengambil empat es krim, untuk dirinya sendiri, kakaknya—adik pertama saya, mamanya, dan neneknya. Saya yang bayar malah enggak diambilkan.

Setelah membayar, saya masih berpikir kudapan apa yang bisa saya bawa pulang untuk saya makan sendiri. Sembari mengendarai motor untuk pulang ke rumah, saya akhirnya memutuskan untuk membeli pisang goreng dan gandasturi dari penjual yang sepertinya baru berjualan di depan jalan menuju rumah saya.

“Satunya berapa, Bang?” tanya saya.

“Rp2.000.”

“Ya, sudah. Saya beli Rp10.000, ya.” Itu berarti saya akan mendapat tiga pisang goreng dan dua gandasturi, cukup untuk saya makan sendiri.

“Ini saya kasih semua, ya, Mas.” Ujar penjual pisang goreng dan gandasturi itu, sembari memasukkan lima pisang goreng dan empat gandasturi ke dalam plastik.

Saya beku sepersekian detik, lalu berterima kasih kepada penjualnya.

Dari situ, perjalanan tersisa sekitar dua menit lagi ke rumah saya. Tapi, saya rasa, itu adalah dua menit terpanjang dalam hidup saya. Saya berpikir. Baru saja beberapa menit lalu “meragukan” rezeki yang saya punya, saya langsung ditampar oleh kenyataan: rezeki tak pernah salah tempat.

Sampai rumah, saya pindahkan pisang goreng dan gandasturi itu ke piring, mengambil satu pisang goreng, pergi ke teras, dan menyantap pisang goreng itu. Enak juga, ya. Kalau beli lagi, apa nanti saya akan dikasih bonus lagi?

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.