Lunglai aku terduduk di atas bus tingkat tak beratap ini. Air mata yang sedari tadi menganak tak lagi mampu kubendung.

Seketika tubuhku seakan ditarik ke poros bumi. Mata-mata penuh tanya dan selidik menghunjamku dari segala penjuru dengan keingintahuannya yang besar.

Suara itu kembali mengguncang ragaku. “Kalau tidak mau, lari saja, tidak usah ikuti cerita ini!”

Sekuat tenaga aku berusaha melawan ingin. Namun, raga ini menolak untuk beranjak dan aku hanya terdiam.

Kuhapus air mata yang tak kuinginkan itu dan seketika netraku menangkap bayangan dari sosok yang selama ini kurindukan. Ia berjalan perlahan menghampiriku dan aku hanya terpaku dengan rasa rindu dan benci yang berkecamuk menjadi satu, yang tak dapat lagi kubedakan.

Marahku berkecamuk. Dia adalah rasa sakit yang tak bisa kucegah kehadirannya. Dia adalah magnet yang selalu menjeratku dengan ketidakberdayaan. Dia hadir dan pergi sesuka hatinya. Separuh hati ini memberontak, tetapi separuhnya lagi pasrah menanti langkahnya yang makin mendekat.

Langkah itu berhenti. Semilir angin membawa wangi tubuhnya dan mengikatku. Kepalaku perlahan mendongak dan menemukan tatapan dalam yang selalu kurindukan. Tegap tubuhnya yang kecil tetap sempurna di mataku.

Jantung ini bergemuruh. Senyum rindunya membiusku. Jiwaku melayang, tetapi rasa sakit itu menahanku. Ia menusuk tajam dan merejam kuat dadaku. Kupegang erat gawai di tanganku sambil mengharap kekuatan dari benda kecil itu agar aku tak lemah di hadapannya.

Kualihkan pandangan, tetapi aku dihadapkan dengan tatapan-tatapan yang kini berubah sendu yang seakan memaksaku untuk pergi agar aku tidak kembali terperosok ke dalam luka.

Aku kembali tertunduk ketika sebuah pesan masuk ke gawai yang masih kugenggam erat. “Cepat pergi! Jangan kamu kembali tertawan dalam ruang tak berbatas. Pergi! Jangan diteruskan! Cukup lima tahun saja kau merasakan ini!”

Tak dapat kualihkan pandanganku dari pesan itu. Pesan itu malah membuka semua memori yang selama ini berusaha untuk kulupakan. Setiap tahun, pada musim yang sama, dia menguasai hatiku, mencurinya, dan pergi tanpa kata, sementara aku tidak tahu sebabnya.

Perlahan dia melangkah ke arahku. Ada luka dalam yang kurasakan dari tatapannya, tetapi aku tidak paham harus mengartikan apa. Apakah dia kehilanganku juga pada setiap tahunnya? Apakah lukanya sedalam lukaku? Apa yang membelenggunya? Apa yang membuat dia selalu pergi?

Tiba-tiba tangannya yang hangat menyentuh ujung jariku yang sudah tak berdarah. Ada yang menyengat, yang mengalir di setiap nadiku. Aku pasrah. Tak ada lagi penolakan. Tak lagi kakiku ingin lari menjauh. Aku diam.

Tanpa terasa tangannya sudah memegang tengkukku. Lalu dengan cepat, dia menyesap bibirku dengan kuat dan membuatku tak bisa bernapas. Gemuruh di hatiku makin membuncah hebat. Rindu itu menyatu dalam hening yang kami ciptakan. Terus dan terus dia menyesap. Akhirnya aku terbangun dengan air mata dan jantung yang sudah tidak berirama.

Seketika rindu itu datang lagi.

Mels 😉
Tangerang Selatan, 22 Juni 2021

 

 

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.