12 Januari 2021, siang itu tumben sekali di Semarang cuacanya mendung. Satu hari sebelumnya padahal panasnya terik mencapai 33 derajat.  Saya yang sudah berbusana rapi dan bersiap untuk mengendarai motor tiba-tiba menjadi bimbang. Jujur saja, perasaan bimbang itu tidak seperti biasanya. “Toh, di dalam bagasi motor sudah ada jas hujan. Tinggal pakai saja, kan, jika hujan turun di perjalanan,” begitu pikir saya. Entah bagaimana, ada sesuatu dalam benak yang masih tetap mengganjal dan menahan saya untuk pergi. Mirip seperti sinetron-sinetron televisi, ada yang berbisik di hati, “Tidak usah pergi, di rumah saja”.

Lain hati, lain juga pikiran. Saya memutuskan tetap pergi karena berpikir jarak tempuhnya dekat. Pikiran itu ditambah keyakinan bahwa kondisi motor saya sudah oke habis diservis satu pekan lalu. Saya pun perlu pergi ke rumah teman karena ayahnya baru saja meninggal. Jadi, ini memanglah sebuah niat baik ingin ke rumahnya untuk mengucapkan duka cita. Akhirnya, saya tidak menghiraukan perasaan bimbang dan bisikan hati saya yang menahan untuk pergi.

Saya mulai mengendarai motor menuju rumah teman saya yang ada di Jalan Klampisan. Rumah saya ada di Jalan Beringin. Jarak tempuhnya kira-kira 20 menit.  Betul saja. Di tengah perjalanan, hujan sudah lebat tanpa aba-aba rintik terlebih dulu. Saya menepi dan mengenakan jas hujan. Saat sedang menepi, saya disapa oleh seorang teman yang ternyata berniat hal yang sama. Ia pun mau pergi ke rumah teman saya yang ayahnya baru saja meninggal dunia itu.

Kami pun akhirnya pergi bersama dan mulai mengendarai motor kembali. Teman saya ada di depan, sedangkan posisi motor saya ada di belakangnya. Saya mulai merasakan ada yang kurang beres dengan motor saat melewati tikungan yang lumayan tajam. Saya memutuskan untuk mengendarai motor lebih pelan dari 40 km/jam menjadi 20 km/jam. Sekitar satu menit lagi saya sudah akan sampai di rumah teman saya. Nahas! Saya terjatuh dari motor.

Mungkin karena refleks, seorang Ibu berlari menolong saya. Saya tersungkur ke arah depan. Untungnya, saya sudah lebih dulu menghindar sebelum motor menimpa badan. Saya berhasil berdiri dan dituntun oleh teman saya untuk duduk di kursi depan warung mi ayam.

Ibu penjual mi ayam memberikan segelas air teh. Saya merasakan ada sesuatu yang aneh di mulut. Rasa darah. Terima kasih, ya, Bu. Berkat teh yang Ibu berikan, saya jadi tahu kalau kondisi mulut saat itu sedang tidak baik-baik saja.

Saya sama sekali tidak bisa menangis saat itu. Rencana pergi melayat pun batal. Syukurlah, paginya badan saya tidak bengkak-bengkak. Beberapa area kaki, tangan, dan muka hanya membiru dan beberapa berwarna ungu karena benturan antara badan saya dengan aspal.

Saya tidak ingin mengambil sebuah simpulan agar besok-besok lebih menuruti kata hati. Saya juga tidak ingin mengandai-andai jika tidak jadi pergi pasti selamat. Semua terjadi atas izin Allah. Jadi, saya memilih untuk lebih berhati-hati di kemudian hari.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.