Sore ini sendu. Aku baru saja mengetahui bahwa nila yang tinggal di langit akan sirna gelap menuju warna tak pasti. Tak hanya itu, ada pula yang dirisaukan dalam helaan napas berbau kopi di mulutku ini. Aku gelisah karena ladang luas penuh bebasku setiap  dua pekannya dirusak dengan keharusan dalam peraturan. Aku tak bisa menggembalai ternak-ternak pikiranku dengan tenang sebagaimana mestinya.

Bagaimana bisa ada yang mengatur tempatku berjalan dalam teduh? Ini ibarat jalan tol berpolisi tidur. Aneh sekali rasanya. Bagaimana perasaan pelukis jika ada yang berkata  kepadanya “Melukisnya dua warna aja, ya.”?  Atau, bagaimana perasaan musisi jika lagunya diprotes karena terlalu sebentar? Ini merupakan coreng hitam dalam alam pikirku. Bisa-bisanya ada yang merampas khayalku dengan paksa. Lihat saja! Aku akan lapor polisi rasa soal ini. Jangan-jangan nantinya kami disuruh apel terlebih dahulu sebelum menulis dan menyanyikan lagu mengheningkan imajinasi.

Angka “300” menjadi trauma berat bagiku. Angka itu mencuri semua yang berada dalam rumahku—tempatku meluapkan segala keluh yang tak sanggup diucap lidah dalam sepinya yang membingungkan. Ke mana aku akan pergi kali ini? Semuanya sudah diambil: rumahku, ladangku, langitku yang nila merona. Ah, sial. Ada apa dengan soreku ini? Namun, ya, sudahlah, sebagaimana yang  Paul McCartney nyanyikan dalam penggalan salah satu lagu The Beatles—yang saya lupa judulnya, “Ob-la-di ob-la-da, life goes on“.

Kali ini aku hanya akan menyepi, rehat sejenak dari segala risau dan gelisah, mencoba memahami dan mengikhlaskan sore yang penuh tanya ini. Life goes on, hidup akan berjalan, waktu takkan berhenti, sore tak selamanya nila, angin takkan pensiun berhembus. Setidaknya angka “300” ini hanya akan menyita ladang dan rumahku selama beberapa pekan saja. Selebihnya aku akan bisa menikmati soreku tanpa harus bertanya-tanya dalam gumam. Pada akhirnya aku bisa melepas nila kepada gelap dengan ayunan tangan yang tak lagi terikat pada trauma terhadap sebuah angka. Sebagaimana burung yang tak sabar menanti datangnya pagi untuk bernyanyi, aku pun tak tahan lagi untuk kembali menulis dengan perasaan yang hanya aku dan sore yang mengerti.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.