Syukur
Semakin jauh kaki saya melangkah melewati tahun 2021 yang berat ini, saya semakin sadar satu hal: bersyukur itu gratis dan menenangkan.
***
12 Juli 2021, saya melewati ruang intensive care unit (ICU) untuk melihat ayah yang sudah beristirahat dengan tenang. Saat itu, ruangan itu sangat dingin. Entah karena pendingin ruangan yang disetel seperti itu entah karena hal lainnya. Satu hal yang pasti saya tahu, pendingin ruangan tidak seharusnya membuat udara dingin sampai menyentuh hati seperti ini.
Semua yang ada di ruangan itu memiliki satu kesamaan. Semuanya sedang berusaha untuk sembuh. Berjuang agar bisa segera diangkat dari penyakit yang menyerang. Ruangan itu sunyi, tetapi terasa betul semuanya berjuang dengan senantiasa memanjatkan doa pada Tuhan masing-masing. Mereka sebelumnya ayah, ibu, atau tulang punggung keluarga yang bisa beraktivitas normal. Malam itu semuanya tinggal pengharapan yang sama—lekas sembuh.
Pandemi ini sudah terlalu banyak mengambil asa dari muka bumi. Mereka bukan sekadar nama dan angka. Tak terhitung berapa pesan yang menanyakan bantuan oksigen, plasma darah, sampai ruangan di rumah sakit, untuk orang terdekat atau bahkan hanya membantu orang lain yang bahkan tak dikenal sebelumnya. Tak terhitung juga berapa kawan yang menginformasikan bahwa mereka tidak bisa beraktivitas sebagai mana mestinya karena sedang menjalankan isolasi mandiri.
Makin jauh saya melangkahkan kaki ke tahun kedua pandemi ini, makin saya sadar bahwa yang saya miliki hanya rasa syukur. Di tengah kehilangan terbesar saya dalam hidup, hanya syukur yang setidaknya bisa memberi sedikit cahaya pada harapan saya.
“Alhamdulillah, gejalanya nggak separah itu karena saya sudah vaksin.”
“Iya, nih, Vien. Syukur banget minimal masih ada pemasukan buat makan sampai minggu depan.”
“Syukurnya, cuma saya saja yang terpapar. Kedua orang tua saya yang sudah lansia tidak.”
Dan, banyak lagi syukur-syukur lainnya dari kawan, saudara, bahkan saya sendiri. Saya percaya syukur adalah afirmasi. Terkadang, saya terlalu sibuk mencaci jalan hidup dan kejadian buruk yang baru saja menimpa. Tanpa sadar, ada zat yang mahakuasa yang saya percaya punya alur paling baik untuk segala ciptaannya. Syukur menyadarkan saya bahwa tak ada yang terlalu buruk jika kita melihat segala limpahan yang ada di hidup kita setiap hari. Namun, itu sama sekali tak pernah saya hiraukan karena sibuk dengan banyak hal.
Syukur membuat saya sadar bahwa tak ada hujan yang turun terus-menerus tanpa kecerahan dan awan gemawan setelahnya
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.