Pada suatu Minggu tahun 2020, saya pamit kepada orang tua saya untuk kembali ke perantauan. Kala itu, saya menaiki bus bersama teman yang kebetulan berasal dari wilayah yang sama dengan saya. Sesampainya di kamar berukuran 3 x 3 meter, saya menjalani akhir pekan dengan rutinitas seperti biasanya. Saya terbilang patuh terhadap rutinitas saya, seperti kapan saya harus membersihkan kamar, mandi, bahkan bertemu teman. Terdapat banyak ceklis di dalam kepala sebelum dan ketika saya melakukan suatu hal. Mungkin kebiasaan saya bisa terbilang baik, tetapi kebiasaan tersebut juga membuat saya sulit menerima perubahan. Terbukti pada malam harinya, saya dikejutkan oleh informasi perkuliahan daring. Saat itu, perkuliahan daring diprediksi hanya berlangsung dua pekan. Saya merasa kebingungan karena rutinitas saya pasti berubah. Banyak orang, bahkan lagu, yang bilang untuk keluar dari zona nyaman. Padahal, kalau sudah nyaman, kenapa mesti keluar? Pada akhirnya, yang dicari pasti kenyamanan juga. Saya lebih sepakat menggunakan frasa “Carilah zona ternyamanmu sendiri.” Itu lebih masuk akal rasanya.

Saya memutuskan untuk pulang ke rumah pada Kamis. Saya mengemaskan segala kebutuhan saya sebagai persiapan selama dua pekan di rumah. Hari demi hari berlalu, dua pekan berubah menjadi dua bulan dan seterusnya, hingga saat saya menulis swalatih ini. Rencana yang gagal tak terhitung banyaknya, tetapi rencana dan mimpi yang baru akan terus hidup.  Saya memang seorang introver yang senang menyendiri, tetapi lama kelamaan sendiri itu memuakkan. Kepala saya penuh dengan pertanyaan, “Terus apa?”

Pertanyaan tersebut terlalu berisik di kepala saya dan memicu saya untuk selalu lari entah ke mana. Pokoknya harus tetap berkeringat. Enggan rasanya untuk beristirahat karena itu terasa seperti dosa besar. Desakan yang tidak jelas dari mana dan siapa terus menghampiri pikiran saya. Pertanyaan “Terus apa?” sebenarnya adalah pertanyaan yang penting bagi perkembangan saya selama terisolasi di rumah. Sebuah pertanyaan yang membuat saya terus mencari zona ternyaman agar tetap berlari di jalur yang saya pilih. Namun, setelah itu, saya memilih untuk berjalan sambil menikmati langkah demi langkah yang akan saya tempuh.

Tim, terima kasih, ya, sudah menjadi zona ternyaman bagi saya untuk bertumbuh.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.