Wajah saya mungkin tak asing bagi para guru yang rutin hadir di ruang piket dekat gerbang sekolah semasa SMA dahulu. Itu bukan karena saya ketua kelas atau seorang anggota palang merah remaja yang sering bolak-balik ke ruang piket untuk izin mengambil obat, melainkan karena saya sering terlambat. Saya kerap berdiri di depan gerbang sekolah. Jaraknya cukup dekat untuk disaksikan oleh setiap orang yang ada di ruang piket.

Jarak rumah saya dengan sekolah ialah lima kilometer. Sehari-hari saya diantar dan dijemput menggunakan mobil pribadi. Tentu saja hal ini membuat tabiat keterlambatan saya terdengar konyol. Namun, perlu diingat bahwa saya bukan satu-satunya manusia yang melewati jalanan di Jakarta Timur untuk berangkat ke sekolah, apalagi rute menuju sekolah saya dipenuhi deretan sekolah dari berbagai jenjang yang berjejer setiap lima belas meter. Bayangkan betapa penuhnya jalanan yang diisi kesibukan setiap orang tua dan pelajar yang mengejar waktu sebelum bel terakhir berbunyi di tiap-tiap sekolah.

Datang lebih awal tidak pernah jadi prioritas saya. Selain memang cukup sulit untuk bangun pagi, saya tidak suka datang lebih awal karena terkadang pintu kelas masih dikunci sehingga saya harus menunggu penjaga sekolah sampai di depan kelas saya di lantai tiga. Meskipun begitu, terkadang saya bandel, memilih masuk lewat jendela bermodalkan sendok bekal sarapan.

Saya lebih memilih berangkat setengah jam sebelumnya dengan harapan jalanan tidak macet. Keputusan itu berakhir dengan saya sampai di sekolah saat gerbang nyaris ditutup rapat. Itu juga kadang membuat saya berdiri dengan para siswa lain, menunggu selama 45 menit hingga kami diperbolehkan masuk kelas. Kami pun mendapat satu poin keterlambatan. Kalau dipikir-pikir, itu bukan pilihan buruk untuk siswa yang terlambat. Setidaknya kami bisa sedikit mengintip tayangan SpongeBob SquarePants pada sebuah televisi yang dipasang di pos satpam sebagai kompensasi kehilangan materi dari jam pelajaran pertama.

Sampai saat ini, saya masih kesal dan mempertanyakan kenapa anak SD—SMA di Jakarta harus hadir di sekolah pukul 6.30. Mandi saja sudah memakan waktu lima belas menit. Belum lagi menyiapkan baju, buku, dan sarapan. Lalu, kapan anak-anak bisa setidaknya menikmati sarapan sembari berbincang bersama keluarga? Untuk apa ada tayangan bersahabat untuk anak-anak di stasiun televisi nasional pada pagi hari kalau tidak bisa ditonton oleh target pasarnya sendiri? Memangnya apa, sih, yang dikejar tenaga pendidik dan pembuat kebijakan sampai harus membuat siswa setidaknya bangun dan bersiap berangkat sejak pukul lima pagi? Bahkan, kegiatan perkuliahan saja dilaksanakan paling cepat pukul 7.30 atau 8.00 pagi.

Saya sudah tak heran lagi dengan kelakuan teman-teman sekelas saya yang diam-diam menyimpan bantal kecil hingga selimut di lemari kelas untuk dipakai tidur di lantai ketika pergantian jam pelajaran. Lagi pula, siapa yang cukup kuat untuk menahan kantuk belajar sepagi itu?

Saya masih ingat, Presiden Jokowi juga bingung dengan jam masuk sekolah di DKI Jakarta yang menurutnya terlalu pagi. Hal itu ia ucapkan saat ia masih menjabat gubernur DKI Jakarta pada 2014 lalu. Waktu itu ia hendak mengkaji perubahan jadwal jam masuk sekolah. Sayangnya, sepertinya kajian tersebut tidak menemukan cahaya di ujung lorong karena sampai saat ini tak ada perubahan berarti terkait permasalahan tersebut. Mungkin bukan para siswa yang perlu dipaksa bangun lebih pagi. Jadi, ya, selama kebijakan belum berubah, saya harap para tenaga pendidik dapat memaklumi beberapa murid yang rutin terlambat seperti saya.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.