Dua Belas, Tiga Belas, Empat Belas
Tanggalmu, tanggalku, tanggal kita. Angka beruntun ini berjejer cantik di kalender. Tak pernah kuhiraukan sebelumnya angka di sebelah kiri dan kanan tanggalku. Tak kusangka kedua angka tersebut kini bermakna seperti halnya tak kuduga dirimu ternyata begitu istimewa. Kita selalu berdekatan, tetapi seolah tidak menyadarinya. Terleka dengan hidup yang tak beralamat, akhirnya celik juga. Layaknya busur panah yang tepat sasaran meski entah dari mana datangnya. Yakinku, pemilihan waktu oleh Tuhan ini tepat setelah lama aku berdayung tak tentu arah.
Kesenyapan kian mengerip hati hingga kuberanikan diri untuk menjelajahi sekitarku. Di sana kutemukan sosokmu mengumumkan kepada dunia bahwa kau menerimaku. Sempat aku bertanya, “Mengapa aku?” yang kautimpali dengan cakapnya elok bicaramu. Seperti tahu inginku, kau begitu ampuh hingga aku menjadi pasti. Konstan hadirmu memanifestasikan kerapnya kita bersua.
Tak butuh waktu lama, kita pun menaja ikatan. Kebahagiaan menyempal, mustahil terselimuti. Terpantul cerminan rupaku pada binar indah matamu. Kutelusuri konstelasi landang unikmu dan kutemui landang di tempat yang sama pada kulitku. “Kebetulan yang spesifik,” gumamku. Daya pikat yang tarik-menarik sama kuat buatnya seakan bergeming. Sepakat rasaku dan rasamu sungguh sepadan bersanding.
Kelabu perlahan pergi mengungkap terik matahari sebenar-benarnya. Magis caramu mengusir mereka yang patuh pada kebolehan pesonamu. Lembut merdu tuturanmu sopan menyapa indra pengenal suara. Paras sempurna milikmu kupindai untuk kubingkai dalam galeri pikiran bertemakan dirimu. Angin sore berembus menyampaikan pesan bahwasanya ia saksi bisu tatkala kita berbagi cerita.
Dua belas, tiga belas, empat belas yang kedua pun tiba penanda bergantinya hari menjadi bulan. Masa kini pada saat itu membalikkan lembarannya, menyisakan waktu yang tak terulang untuk terus dikenang. Musim baru mengetuk kencang memaksa masuk. Kilas balik satu purnama pun didesaki arus realitas. Untuk pertama kalinya semenjak kita bersama, ilusi jarak dan waktu menjadi terlalu nyata.
Kupejamkan indra visual, berharap mampu memberi sugesti kesiapan hati menghadapi jalinan virtual. Terimpit waktu, kau dan aku melanglang buana tanpa peduli satu hal pun. Luang tak lagi membersamai. Kebiasaan pun akan terhenti dua kuartal. Seberapa cermat kita dapat menghadiahi waktu?
Fase hidup yang tak dapat kita hindari telah datang menghampiri. Kilau derai mata menumpaskan keras degup jantung. Terpaku di besi panjang, kita berbincang dalam diam. Hadirmu kutemukan pada tiap jejak langkah petualangan kita. Ingin sekali aku egois dan mencari alasan untuk menemanimu, mengulang dan mencetak kenangan bersama. Inikah jalan takdir yang akan membawa kita akhirnya tak terpaut untuk kau mengucap janji suci?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.