Kehilangan
Kita semua pasti pernah mengalami pertemuan dan, seperti siklus, pertemuan biasanya diakhiri dengan perpisahan; entah karena menjauh, pergi untuk sementara, atau pergi untuk selamanya. Perpisahan biasanya datang tiba-tiba; tanpa rencana dan sedikit banyak bisa membuat seseorang mengalami kesedihan yang mendalam.
Kali ini, saya ingin membagikan pengalaman kehilangan yang saya alami. Hari ini, saya harus menyaksikan bagaimana dicabutnya nyawa seseorang tanpa rasa sakit dan tanpa alat-alat rumah sakit. Cerita ini bermula sejak seminggu yang lalu. Saya memiliki keponakan yang cukup “istimewa”. Dia cukup sensitif atau biasa kita bilang indigo. Dia ini dekat sekali dengan dua kakeknya, yaitu Uwak dan papa saya. Saking dekatnya, kedua kakek ini sering berkunjung ke rumahnya.
Namun, dua minggu terakhir terasa berbeda. Salah satu kakeknya, uwak saya, sakit dan diharuskan istirahat. Jadi, kegiatan berkunjung tiap akhir pekan pun tidak bisa terlaksana. Pada minggu pertama tidak terjadi hal yang aneh. Namun, ketika masuk minggu ke-2 ketika katanya Uwak sudah lebih baik, keponakan saya justru bersikap sebaliknya. Ia sering uring-uringan dan menangis tanpa sebab. Ketika melakukan panggilan video dengan Uwak pun, ia akan menangis histeris. Saat itu kami semua bingung, dia ini kenapa? Awalnya kami pikir alasannya karena kepulangan kami yang mendadak.
Namun, semua spekulasi kami berubah saat hari ini tiba. Saat itu, Adek—begitu kami biasa memanggilnya—menangis dari pagi. Ia tidak bisa ditenangkan sama sekali, bahkan bujuk rayu yang biasanya berhasil untuk menenangkannya kali itu tidak berhasil. Adek baru berhenti menangis ketika kami pergi untuk bertemu Uwak. Adek jadi lebih tenang dan lebih senang. Kami pikir itu karena dia rindu. Ternyata itu adalah firasatnya.
Sore itu, semuanya normal. Mungkin paginya sedikit tidak normal karena Uwak mencari Adek pada Subuh hari, padahal beliau tahu bahwa Adek belum bangun pada saat itu. Beliau sampai melakukan panggilan video lebih dari lima kali dalam sehari saat itu. Namun, sore terasa sangat normal. Adek bermain dengan kakeknya, kakak sepupu saya bercengkrama dengan beliau, dan berbagai aktivitas lain berjalan dengan normal.
Namun, siapa yang menyangka bahwa kedatangan kami hari itu adalah pertemuan kami yang terakhir dengan Uwak. Tepat sebelum azan Magrib berkumandang, saat Uwak dan kakak sepupu saya sedang bertukar pikiran dan membaca dalil Al-Qur’an, tiba-tiba Uwak jatuh pingsan. Namun, pingsan kala itu berbeda dari yang biasanya. Jika diibaratkan, Uwak saat itu seperti robot yang baterainya dicabut paksa. Kami semua panik dan mulai melakukan pertolongan pertama. Namun, Tuhan berkehendak lain. Uwak harus kembali ke pangkuan Tuhan di tengah-tengah kami.
Hari itu menjadi hari yang paling menyakitkan untuk kami semua. Hari ketika kami mendapat kehilangan yang tiba-tiba dan untuk selama-lamanya.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.