Kalau harus menyebut salah satu konsep yang segera menarik perhatian saya ketika pertama kali mendengarnya, itu adalah universal basic income (UBI) atau pendapatan pokok universal (PPU). Konsep itu mula-mula saya dengar dari seorang teman yang berkuliah di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Menurut penjelasannya dan beberapa artikel jurnal yang saya baca, PPU menjamin ketersediaan kebutuhan dasar tiap warga negara. Negara yang memberlakukan PPU akan memberi “modal” bagi warganya untuk bertahan hidup.

Sekilas konsep itu bagai cahaya terang. Bayangkan, tanpa perlu bersusah payah, warga menerima uang gratis dari negara. Urusan perut kemungkinan besar akan terjamin. Akan tetapi, setelah beberapa waktu, muncul pertanyaan dalam pikiran saya: Benarkah PPU akan membuat warga merasa cukup dengan hidupnya?

Kita mungkin menyadari bahwa sebagian besar masalah di dunia ini dimulai dari urusan perut. Banyak orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan perutnya dan bahkan perut anggota keluarganya. Ketika persoalan perut sudah diselesaikan oleh PPU, akankah orang-orang berhenti bekerja?

Saya ragu bahwa jawabannya iya. Selama ini, berdasarkan pandangan yang masih terbatas, saya melihat manusia sebagai makhluk yang ditakdirkan untuk tidak bisa diam. Akan selalu ada golongan manusia yang mencoba hal-hal baru dan berusaha menembus batas-batas amannya. Bisa jadi mereka ingin mengembangkan hobi atau, ya, iseng saja melakukan kegiatan tertentu. Akan tetapi, pengembangan hobi dan keisengan itu, toh, memerlukan biaya tambahan. Makin berkembang, makin banyak biaya yang diperlukan. Lantas, ke manakah lagi biaya demikian itu dicari kalau tidak dengan bekerja?

Namun, dengan adanya PPU, tuntutan kerja tiap orang setidaknya berkurang. Karena kebutuhan dasar sudah terpenuhi, mereka dapat berfokus melakukan hal-hal yang berada pada tingkat menengah atau atas yang dapat dibilang lebih santai, misalnya berkesenian. Banyak orang akan mulai mendalami seni. Kontemplasi atas keindahan menjadi kepuasan baru bagi yang sebelumnya berkutat pada pemenuhan kebutuhan dasar.

Meskipun begitu, semuanya secara menyedihkan harus kembali lagi pada kenyataan. Indonesia sendiri sepertinya belum siap untuk menerapkan PPU. Sebabnya, mana mungkin negara memberi uang gratis kepada ratusan juta orang, sementara ia sendiri masih kerap berutang?

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.