Menulis Kesedihan
Bersedih adalah satu nasib buruk yang tiap orang pernah alami. Namun, mencurahkannya adalah satu nasib lain yang tidak semua orang mampu melakukannya. Kepercayaan bahwa semua orang cakap untuk curhat adalah kepercayaan yang keliru. Kalimat Curhat, ya, curhat aja adalah kalimat yang ganjil. Menurut saya, curhat itu butuh kemahiran tertentu.
Setelah mengulik, ternyata saya tidak pandai bercerita dengan leluasa sampai lega. Saya baru tahu bahwa sukar mempunyai kemampuan itu. Ekspresi yang dikeluarkan saat saya bersedih sampai melegakannya selalu beriringan dengan rangkaian panjang, mulai dari menangis seharian, makan banyak, memandai besi, kabur, mendengarkan Sad Karaoke Songs pada daftar putar Spotify, sampai dengan lari dengan telanjang kaki. Boro-boro curhat, diajak ngobrol saja tidak bisa. Setelah cukup tenang, barulah saya membuka diri untuk berbagi perasaan itu kepada teman, orang asing, atau kucing lewat. Itu pun belum tentu melegakan.
Sementara itu, di antara semua rasa yang ada di bank emosi saya, sedih adalah perasaan yang paling sering saya alami. Bayangkan, betapa melelahkannya. Saya luar biasa kerepotan kalau tiba-tiba rasa sedih bertandang. Ada investasi uang, waktu, tenaga, dan pikiran yang tidak sedikit. Lebih mengesalkannya, belum tentu dapat jaminan ia hilang. Sedihnya tidak hilang, malah tambah kesal.
Dari rangkaian panjang itu, kalau sampai curhat tidak membantu, saya lebih baik menerima saja dengan lapang dada sampai kesedihan hilang sendiri karena tidak tahu mesti bagaimana lagi. Amat sering keluarga, teman, atau orang asing melihat saya makan sambil menangis, bekerja sambil menangis, olahraga sampai menangis, atau tertawa sambil menangis. Termasuk hari ini.
Akhir-akhir ini, berita buruk datang tanpa tedeng aling-aling. Respons emosi tercepat manusia pasti merasa nestapa. Tujuan saya menulis topik ini akhirnya terbaca jelas, saya sedang mencoba curhat tentang kenestapaan saya di tengah tanggung jawab dan kewajiban menulis dan bekerja. Karena kebingungan menentukan poin tulisan, akhirnya saya memilih menulis alasan kenapa saya bingung–kekacauan hati dan pikiran atas kesedihan yang tidak pulang-pulang. Ada tips?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.