“Apa yang akan kamu katakan kepada dirimu pada sepuluh tahun yang lalu?” Pertanyaan itu muncul pada beranda Twitter saya beberapa hari lalu. Penulisnya tak saya kenal. Seorang temanlah yang meretwitnya sehingga kicauan tersebut dapat saya baca.

Dengan sedikit retrospeksi, saya menjawabnya dalam hati, “Saya akan mengatakan bahwa kamu—saya pada sepuluh tahun lalu—tak perlu terlalu khawatir atas yang terjadi pada tahun itu. Segalanya akan lebih baik, meskipun perjalanan menuju titik itu benar-benar tidak mudah. Ada jurang menganga pada tahun kesekian yang harus kamu lewati dengan menapak pelan-pelan di sebuah titian. Kamu akan goyah dan hampir saja jatuh, tetapi satu tanganmu masih dapat menggayuh titian itu. Lalu, kamu akan bangkit dan mampu menuntaskan ketidakpastian. Setelahnya, kamu akan berkata bahwa yang perlu kamu lakukan hanyalah menerima.”

Sepuluh tahun lalu, pada bulan Juni—bulan yang sama ketika saya membaca twit itu, saya kehilangan beberapa teman. Mereka masih ada, tetapi sekaligus tak ada. Pertemanan yang sebelumnya erat melenyap begitu saja. Saya tak pernah menduga hari akhir itu akan datang dan membuat suatu perasaan yang sisanya masih terasa sampai saat ini.

Tepat sebulan kemudian saya kehilangan kekasih. Sama seperti teman-teman saya, ia ada sekaligus tak ada. Untuk yang satu itu, saya sudah menduga bahwa akan ada akhirnya. Akan tetapi, cara perpisahan itu terjadi tak pernah saya perkirakan sebelumnya.

Tahun-tahun selanjutnya tak lebih baik, meskipun memang ada pengalaman-pengalaman yang menghibur. Bahkan, hingga sekarang, saya belum bertemu lagi dengan teman-teman saya itu. Bahwa sering kali saya rindu untuk bertemu dengan mereka adalah hal yang benar. Akan tetapi, saya pun tahu bahwa jika itu terjadi, percakapan tak akan sama lagi. Kenaifan masa dahulu akan berganti dengan keseriusan seputar pekerjaan atau anak—mengingat mereka semua telah berkeluarga.

Beruntung, ada satu yang tak benar-benar hilang. Setelah beberapa tahun tak bersua, ia—sang mantan kekasih—datang kembali. Namun, merekatkan dua hal yang terberai memang tak mudah, mesti punya kesabaran yang sangat.

Ketika ketidakpastian mulai terlihat ujungnya, di sebuah perpustakaan, saya juga menemukan buku yang memberikan cahaya cukup terang. Buku itu berisi perjalanan hidup seorang suci yang sebagiannya sudah saya—atau kita—tahu ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Di dalamnya, termuat satu kata kunci yang serupa teduh hujan pada musim kering, yaitu penerimaan (acceptance).

Penerimaan adalah pintu gerbang untuk memulai langkah baru. Ia tidak meniadakan yang telah terjadi, tetapi menjadikannya sebagai bagian dari proses. Dengan menerima, seseorang akan belajar untuk tumbuh tanpa menciptakan buah-buah sesal.

Saya pun belajar menerima kehilangan atas teman-teman saya tadi. Suatu kesadaran hadir bahwa tiap-tiap yang hilang akan terganti dengan yang datang, meskipun saya tahu bahwa tak satu hal pun di dunia ini dapat diganti dengan hal lain dengan kadar yang sama. Begitu pula dengan sang kekasih yang kembali. Ia mungkin tak sama seratus persen dengan yang dahulu, tetapi bukan berarti tidak dapat menjadi lebih baik.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.