Tabir
Pandemi memukul wajah saya dengan keras. Saking kerasnya, saya bingung mau mulai mengobati lukanya dari mana.
***
Saya punya banyak cerita pertama karena pandemi, seperti pertama kali Idulfitri di rumah dan pertama kali masak opor ayam di pondokan. Kepertamaan itu sering kali menjadi hal yang kurang mengenakkan. Tak terhitung berapa orang yang mengeluhkan masalah-masalah pertama yang mereka hadapi: pertama kali kehilangan pekerjaan, pertama kali harus mau tak mau menjual kendaraan atau aset lainnya, dan pertama kali kehilangan orang yang disayangi—yang juga saya alami.
Satu hal yang mungkin bisa saya teladani dari pandemi adalah bagaimana ia bergerak dengan caranya, membuka tabir-tabir yang sebelumnya disembunyikan dengan sangat baik oleh berbagai manusia di dunia ini. Salah satu berita yang pernah saya baca secara daring menulis, “Pandemi bukan membuat sistem rusak. Pandemi membuka rahasia kerusakan sistem yang mungkin sebelumnya tak pernah kita tahu.”
Siang hari pada awal tahun 2020, pemerintah mengumumkan kasus pertama di Indonesia. Sorenya, pemberitaan bukan tentang penanganan pertama, melainkan sebagian masyarakat yang berbondong-bondong memborong barang. Panic buying istilahnya. Hal itu sebenarnya tidak perlu dilakukan karena kita sedang dilanda wabah, bukan bencana alam.
Tabir pertama pun terbuka. Manusia menjadi paranoid sehingga melakukan hal yang kurang bijak yang mungkin disebabkan oleh ketamakan atau ketakutan atas kondisi terburuk. Kita semua tahu, berbelanja dengan panik sampai menghabiskan stok yang ada di pusat perbelanjaan sesungguhnya hanya mempersulit orang-orang yang benar-benar membutuhkan barang-barang itu. Masalah demikian hanyalah contoh kecil dari tabir selanjutnya: ketamakan.
Beberapa bulan setelahnya, tabir kedua terbuka. Barang-barang esensial medis, seperti masker medis dan penyanitasi tangan, langka. Kalaupun ada, harganya meningkat ratusan kali lipat. Bahkan, ada orang-orang yang sengaja menimbun barang yang dibutuhkan oleh kawan-kawan tenaga kesehatan, terutama masker, padahal para garda terdepan penanganan pandemi memerlukan “senjata” itu. Bukannya bahu-membahu, beberapa orang malah dengan bangga mempertontonkan ketamakannya secara terbuka.
Saat ini, sudah dua tahun kita hidup berdampingan dengan pandemi. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di depan. Akankah kita menang? Jika dilihat dari sejarah, harusnya iya. Layaknya peperangan lain, tak ada kemenangan yang tak menelan korban. Namun, saya yakin, tak ada pengorbanan yang tak menghasilkan kenyataan baik.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.