Ziarah Huru-hara
Hari-hari menunggu kematian tidak lepas dari menyaksikan kematian itu sendiri. Yang paling menyedihkan dari sana adalah perpisahan dan ketidaksempatan. Barangkali, yang hidup mulai berpikir “seharusnya …” ke “seharusnya …” yang lain. Kebanyakan menyesalkan hal-hal yang belum sempat dilakukan bersama mendiang. Barangkali lagi, yang hidup berandai-andai tentang “kalau saja …” ke “kalau saja …” yang lain seakan-akan jika kita melakukan sesuatu, kematian akan memperlambat tugasnya atau tidak jadi menghampirinya.
Selama satu atau dua tahun ini, lingkungan saya sedang gempar-gemparnya memberitakan kematian yang silih berganti. Panggilan ziarah datang seperti sudah berita harian. Sebab kematiannya beragam, dari alasan yang biasa terdengar sampai yang terasa mengada-ngada. Saat sedang menetap di NTT, sebelum pandemi, kawan saya meninggal saat sedang berusaha menyelamatkan kapal. Sementara di Pulau Jawa, teman saya yang lain meninggal karena narkotika. Saat pandemi, nyawa terus menerus diancam oleh hal-hal tak konkret. Sumber ancaman tersebut sangat abstrak, tak kasat mata, dan sangat masif menyebar. Tidak jarang orang gagal menghindari ancaman itu.
Ketika melihat pandemi (akhirnya) mulai reda, saya mulai mengingat nyawa-nyawa yang berawal dan berakhir—nyawa yang menemukan gairah kehidupan baru dan nyawa yang justru mesti kandas. Perasaan saya berdebar tidak keruan. Ingatan dan perasaan itu akhirnya membawa saya merencanakan ziarah ke sana ke mari.
Saya sadar, saya jarang sekali datang ke makam. Ziarah saya selama ini hanya mengenang dan berdoa. Dua hal itu bisa dilakukan di mana saja dan tidak perlu ritual khusus. Sekali-kalinya saya ke makam malah saya anggap itu wisata. Tidak pernah ada rasa haru di dalam perjalanannya. Saya saja heran. Mas Puthut pernah bercerita, sebelum ia ketok palu menjadi penulis, ia sengaja datang ke makam Rangga Warsito—seorang pujangga pada masanya. Pelukis Nasirun juga selalu datang ke makam kalau ia sedih dan bingung. Teman saya hampir setiap minggu mampir ke makam bapaknya untuk sekadar curhat dan membanggakan sesuatu. Sepertinya saya juga ingin punya perasaan seperti mereka—perasaan yang selalu memaknai makam seperti kawan yang menenangkan. Terakhir saya datang ke makam kakek, saya malah haha-hihi dengannya. Ternyata saya juga begitu di makam lain (makam Chairil Anwar sekali pun). Tak disangka saya punya ketenangan khusus saat datang ke makam. Entah kurang ajar atau memang akrab. Namun, begitulah gambaran ziarah versi saya. Saya selalu menekan segala bentuk haru dan tangis, serta menghentikan segala bentuk penyesalan sambil mengucap mantra paling manjur “ikhlas, ikhlas, ikhlas, al-fatihah.”
Saya pernah takut tidak ada yang menangis di hari kematian saya. Namun, sekarang sepertinya bukan masalah besar. Ajal biarlah menjadi ajal. Namun, kenangan harus selalu diukir saat hidup ataupun mati.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.