Saya yakin sekali, banyak orang memiliki harapan baru ketika tahun berganti. Ingar bingar perayaan pada malam hari terakhir pada Desember selalu memiliki kisah tersendiri. Saya, kala itu memilih memilih untuk berkumpul dengan tiga kawan lama saya yang sebelumnya hampir tidak pernah bertemu selama setahun. Entah itu karena kesibukan atau kesempatan yang belum berpihak pada kami. Malam itu kami habiskan dengan bercakap-cakap seputar rencana kami ke depan. Satu hal yang saya ingat, salah satu kawan saya menutup malam itu dengan berkata, “Tahun depan kita ketemu lagi, ya. 2020 bakal seru dan sukses, lah!” Lalu, kami pulang ke rumah masing-masing.

Memang, saya berharap banyak dengan tahun ini. 2020 adalah masa akhir studi saya. Hal yang sudah saya nantikan selama empat tahun terakhir direncanakan akan terjadi tahun ini. Pada 2 Maret 2020, Presiden Republik Indonesia mengumumkan kasus pertama virus korona. Waktu itu, bahkan belum ada penamaan resmi virus yang pada kemudian hari dinamai virus Covid-19 ini. Berbulan-bulan setelahnya, sampai saat saya menulis cerita ini, pagebluk belum bisa diramalkan kapan selesai.

Cerita panjang pandemi seakan tidak ada akhirnya, tetapi bukan itu poin cerita saya. Kondisi ini memaksa saya belajar satu hal, yaitu materi yang mungkin tidak akan saya dapatkan ketika masa sulit ini tidak menimpa kita semua: harapan. Saya yakin sekali, tidak ada orang di dunia ini yang hidupnya tidak terpengaruh oleh pandemi ini. Banyak cerita-cerita besar yang harus disesuaikan atau bahkan diganti, tetapi ada satu hal yang mungkin tidak kita sadari, dan hal itulah yang masih bisa membuat kita berdiri dan tegar menatap ke depan. Itulah harapan.

Karena pandemi, saya belajar bahwa satu-satunya hal yang tidak bisa berganti, apa pun momennya adalah harapan. Awal Januari 2020, harapan kecil saya adalah saya ingin bisa menyelesaikan studi tahun ini, dan juga mengakhiri studi dengan wisuda, seperti layaknya mahasiswa yang telah menyelesaikan pembelajarannya di kampus. Lalu, pandemi menghantam kita semua. Perkumpulan dalam jumlah banyak—seperti wisuda—mustahil diadakan. Ruang-ruang temu virtual dibuka secara masif untuk mengatasi kemustahilan ini. Termasuk kegiatan wisuda.

Harapan saya untuk wisuda secara konvensional, seperti pupus. Satu hal yang saya tidak sadari, tak ada harapan yang benar-benar hilang. Ia hanya tidur dan, ketika waktunya tepat, harapan akan muncul kembali—entah sebagai penyesalan atau malah sebagai pemacu agar harapan itu berkembang menjadi lebih besar. Untungnya, saat itu ia tidak hilang, tetapi muncul kembali layaknya bahan bakar yang memacu saya untuk terus berharap. Terus berusaha untuk menyelesaikan studi di waktu yang sangat tidak mudah untuk kita semua, sampai akhirnya selesai. Bukan hanya selesai, saya juga berhasil wisuda secara langsung, bukan virtual. Sebuah momen yang ketika saya pikirkan tiga bulan sebelumnya hanya akan menjadi bahan tertawaan dalam hati.

Ketika mendengar cerita orang-orang, saya tahu bahwa banyak harapan yang pupus karena kondisi ini. Banyak rencana yang harus diganti karena dirasa tidak relevan dengan kondisi saat ini. Pengalaman bercerita bahwa tak ada yang salah dengan berharap. Yang salah ialah ketika kita hanya berharap tanpa melakukan apa pun. Pada akhir tulisan ini, saya akan berbicara satu hal:

“Hei, berharaplah terus sampai kamu memiliki banyak harapan, dan akhirnya jengah sehingga ‘terpaksa’ menepati harapan itu satu per satu.”

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.