Saya hanya sempat bertemu satu kali dengan Pak Anton Moeliono, begawan linguistik Indonesia. Pertemuan itu terjadi pada sebuah acara di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, pada akhir 2010. Obrolan singkat dengan beliau pada acara itu mengubah hidup saya.

Acara Simposium Internasional Perencanaan Bahasa yang berlangsung 2–4 November 2010 itu merupakan penampilan kedua saya sebagai pembicara dalam acara kebahasaan. Sebelumnya, saya pertama kali memberanikan diri tampil membawakan topik kebahasaan pada Seminar Hari Bahasa Ibu Internasional 2010, Bandung, 19–20 Februari 2010. Setelah menyajikan makalah tentang Kateglo di Bandung, pada acara di Jakarta itu, saya menyampaikan gagasan saya tentang portal bahasa.

Sebenarnya saya agak jeri tampil di depan para ahli bahasa dalam kedua acara itu. Yang membuat saya berani ialah kegemasan saya untuk memperkenalkan pemanfaatan teknologi informasi bagi pengembangan bahasa. Saya pilih topik yang saya kuasai.

Kalau saya lihat lagi sekarang, hampir semua gagasan yang saya kemukakan pada simposium di Jakarta itu telah terwujud meski belum dalam satu wadah utuh. Ketika itu saya mengusulkan sebuah situs web yang menyediakan berbagai sumber daya kebahasaan—seperti kamus, korpus, pustaka, acara, dan direktori—pada satu tempat. Saya bahkan sempat membeli domain portalbahasa.com sebagai wujud nyatanya.

Pada acara itu saya berkenalan dengan banyak ahli dan pegiat bahasa. Saya senang punya kesempatan mendiskusikan bahasa Indonesia dengan kenalan-kenalan baru itu. Ketika tiba giliran untuk tampil, saya melihat Pak Anton duduk di kursi terdepan. Saya grogi.

Bagi saya, Pak Anton itu Dewa Linguistik Indonesia. Buku dan tulisan beliau saya gunakan dalam perjalanan saya mempelajari lagi bahasa Indonesia sejak 2006. Menurut saya, beliau pintar sekali dan berperan sangat penting dalam pengembangan bahasa Indonesia.

Paparan dapat saya selesaikan dengan baik. Seingat saya, ketika itu ada tiga orang yang mengajukan pertanyaan kepada saya. Pak Anton termasuk salah seorang penanya. Saya lupa apa yang beliau tanyakan ketika itu.

Ketika saya turun dari panggung, Pak Anton berdiri dan mendatangi saya. Beliau menyalami saya dan mendiskusikan beberapa hal dari paparan saya. Terus terang waktu itu saya gagap bintang (starstruck). Norak banget.

Pak Anton berbicara dengan memakai bahasa formal yang tiada bedanya dengan bahasa tulis. Namun, beliau membuat penyampaian bahasa formal terasa sangat luwes dan alami. Beliau memupus anggapan saya bahwa bahasa Indonesia formal tidak dapat dipakai dalam ragam bahasa lisan. Ternyata bahasa baku dapat dipakai dengan cara yang tidak kaku, bahkan dalam bentuk lisan.

Obrolan singkat dengan Pak Anton pada 2010 itu menguatkan niat saya untuk mulai memakai ragam bahasa formal di media sosial. Saya ingin dapat menginspirasi orang bahwa bahasa Indonesia dapat dipakai dengan luwes. Saya ingin seperti Pak Anton.

 

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.