Singgah
Pada 2016, tepat enam tahun lalu, saya memutuskan untuk pergi ke tempat yang tidak pernah saya kunjungi sebelumnya: Surabaya. Hari itu adalah hari yang sama dengan pengumuman bahwa saya diterima di dua perguruan tinggi lain di belahan lain Pulau Jawa. Selama 18 tahun kehidupan, saya hampir tidak pernah pergi jauh dari kota kelahiran saya. Paling lama dua pekan. Itu pun dalam rangka mudik ketika hari raya. Justru hal itu yang memicu saya untuk pergi menuntut ilmu ke Pulau Jawa bagian timur: Hal baru yang sebelumnya tak pernah dilakukan selalu menarik bagi saya.
Rasa tidak nyaman menyelimuti saya sesaat ketika sampai di ibu kota Provinsi Jawa Timur ini. Tempat ini adalah tempat yang sama sekali asing bagi saya. Tak ada sanak saudara, bahkan teman, yang bisa mengenalkan saya kepada seluk-beluk kota yang dijuluki Kota Pahlawan ini. Akhirnya, kesendirian adalah hal yang menyenangkan bagi saya. Saya menemukan kenyamanan ketika berdiam diri di kamar, dibanding harus ke warung kopi atau pusat keramaian lain. Saya memilih pulang ketika tahu tak ada lagi kegiatan yang harus dilakukan di kampus, dibanding bercengkerama dengan kawan-kawan di kampus. Hal ini sempat menjadi masalah ketika saya menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa di kampus.
Pada malam itu, 55 orang anggota Himpunan Mahasiswa Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga (HMD Sasindo) duduk mengelilingi api unggun yang sengaja dinyalakan untuk menghangatkan udara malam Kota Mojokerto yang terasa dingin. Memang kami sengaja memilih kota ini karena udaranya yang lebih dingin dibanding Surabaya. Acara ini adalah salah satu acara “kunci” pada pertemuan tahunan organisasi kala itu. Saat itu, saya menjadi pemimpin acara bersama Elok, Wakil Ketua HMD Sasindo, yang menjabat dengan saya.
Agenda utamanya adalah bercerita hati ke hati mengenai apa yang sudah dialami masing-masing anggota selama tiga bulan ke belakang. Saya, sebagai pemimpin acara, memberanikan diri “mengorbankan diri” untuk dicerca secara personal dan profesional apabila selama tiga bulan kepemimpinan ini ada hal yang salah dari cara saya.
“Kamu jarang ngumpul di student center (SC). Kahima lain, tuh, selalu nongkrong di SC sampai malam,” ujar salah seorang ketua divisi yang saya ketahui sering menginap di SC.
“Memang harus, ya?” Pertanyaan itu terus-terusan mengulang di pikiran saya karena jawabannya tak kunjung muncul.
***
Pada Oktober 2020, saya telah menyelesaikan urusan pendidikan saya di Surabaya. Kembali ke Tangerang adalah pilihan selanjutnya. Beberapa hari ini, saya sadar: Saya tak pernah sesulit ini memutuskan untuk pulang. Sebelumnya, saya biasa saja bila harus meninggalkan Surabaya. Kali ini, rasanya berbeda. Mungkin karena satu hal: Saya harus meninggalkan kota yang sudah menemani saya bertahun-tahun ini secara penuh. Apabila kelak nanti kembali, saya adalah turis, bukan lagi mahasiswa yang memiliki tempat tinggal sementara di sana. Perlahan, kenangan-kenangan muncul. Bagaimana kalau saya rindu mengendarai motor malam-malam—ketika penat—mengelilingi Jalan Tunjungan? Bagaimana kalau saya rindu makan Bebek Sayeki yang khas karena bebeknya yang berwarna hitam dan penuh minyak itu?
Saya sadar, saya tidak benar-benar singgah sampai memutuskan untuk pergi dan meninggalkan semuanya. Tak ada kenangan yang dirindukan, sampai kenangan itu tak bisa lagi terjadi semudah sebelumnya.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.