Kazuo Ishiguro
Pada 2017, banyak orang kecele dengan status kewarganegaraan Kazuo Ishiguro. Sesaat setelah penobatannya sebagai penerima Nobel Sastra, tidak sedikit yang kemudian mengaitkannya dengan dua penulis Jepang penerima penghargaan serupa: Yasunari Kawabata (1968) dan Kenzaburo Oe (1994).
Hal itu terjadi karena rupa dan perawakan Ishiguro mirip orang Jepang. Padahal, sebagaimana diakuinya, ia sama sekali tidak mengetahui ihwal Jepang, termasuk bahasanya. Bahkan, ia tidak pernah menginjakkan kaki ke Negeri Matahari Terbit itu, kecuali saat kelahirannya hingga berusia lima tahun.
Dengan atribusi fisiknya itu, wajar jika kemudian tidak sedikit orang yang lantas membandingkannya dengan penulis Jepang yang rutin menjadi langganan kandidat penerima Nobel Sastra, Haruki Murakami.
Persoalan identitas itu rupanya diketahui juga oleh Ishiguro. Untuk menjernihkannya, ia menyelipkan sepenggal riwayat hidupnya ke dalam pidato penobatan Nobel Sastra 2017. Karena begitu pentingnya, cerita itu disampaikan pada bagian awal pidato. Hasilnya, kisah anekdotal itu berhasil memancing senyum siput audiens yang menghadiri acara tersebut.
Agar banyak orang mengetahui asal-usulnya, pidato itu dijadikan buku dengan tajuk My Twentieth Century Evening and Other Small Breakthroughs. Dalam buku itu, Ishiguro mengakui dirinya memang lahir di Jepang. Namun, sejak berusia lima tahun, ia menetap dan beroleh pendidikan di Inggris. Maka wajar jika kemudian ia lebih memahami adat istiadat Inggris ketimbang Jepang.
Hal menariknya, buku tersebut tidak hanya berisi riwayat hidup Ishiguro. Buku setebal 28 halaman itu juga menyelipkan proses kreatif penciptaan novelnya yang sebagian besar beroleh penghargaan internasional. Misalnya, saat ia menyebut Remembrance of Things Past karya Marcel Proust dan beberapa karya Salman Rushdie yang sangat memengaruhi mahakaryanya, The Remains of the Day.
Selain novel, Ishiguro juga menyebut karya musik dan film sebagai sumber inspirasinya dalam penciptaan karya sastra. Beberapa lagu karya Bob Dylan, Nina Simone, dan Ray Charles serta film “Twentieth Century” karya Howard Hawks sangat menginspirasinya dalam berkutat dengan topik mengenai memori.
Salah satu karyanya yang berhasil mengeksplorasi topik soal memori adalah The Buried Giant. Novel ini dianggap menarik karena fantasinya mengenai aksi naga pada Zaman Kegelapan di Eropa. Namun, berdasarkan ulasan sejumlah pakar dan penuturan Ishiguro sendiri, novel itu sebetulnya berupaya untuk mengeksplorasi dilema pada sebuah kenangan atas pengalaman yang traumatis. Pada situasi yang sulit dan membingungkan itu, bukankah kita kerap dituntut untuk memilih satu dari dua pendirian: apakah akan merawat kenangan traumatis itu atau melupakannya?
Dari penuturannya dalam pidato penobatan Nobel Sastra tersebut, kita akan mengetahui bahwa karya Ishiguro tidak melulu berfokus pada aspek karakter, tetapi juga berpusat pada hubungan antara karakter dan latar waktu serta tempat, memori, dan perasaan hati yang terdalam dari tokoh cerita.
Baginya, sebuah cerita tidak hanya bertujuan untuk menghibur pembaca atau menyampaikan argumen tertentu, tetapi juga—yang paling penting—mengomunikasikan perasaan.
Atas penghargaan bergengsi yang diterimanya itu, tampaknya Ishiguro tidak akan lagi mengkhawatirkan persoalan identitas yang kerap melingkupi hidupnya saat berinteraksi dengan orang lain. Sebabnya, ia sudah dikenal oleh khalayak sebagai penulis keturunan Jepang yang berkebangsaan Inggris.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.