Salju di Bulan Maret
Kamar saya terlalu dingin.
Ukurannya 5×5 meter, diselimuti salju, dan terlalu dingin. Di hadapan saya, lembaran buku masih tak kunjung terisi kata-kata. Ke mana perginya kata-kata? Ke mana perginya mereka? Ke mana perginya kamu? Asal mereka tahu, asal kamu tahu: di luar, salju masih turun seperti potongan tahu dadu (atau lembaran kertas kusut) yang mengotori pekarangan. Mereka jatuh bersama helai-helai sayap burung yang mencoba berkawan. Kadang, beberapa helainya mendarat di gebar saya yang terlipat aman.
Mereka mengingatkan saya padamu yang seringkali berdiri di balkon hanya untuk menggigil kedinginan. Menebak-nebak, apakah jatuh rasanya seperti terbang sampai tulang belulang remuk menghantam kenyataan? Saya pikir, kamu membenci salju di bulan Maret, sebagaimana saya membenci kamu menangis sendirian tanpa dekapan. Kita pun sama-sama tahu, di sini terlalu dingin sampai burung-burung tak lagi mau menetap. Tak ada yang mau menetap, memang. Namun, yang mana yang lebih dingin, keluh atau relungmu? Saya tidak tahu pasti.
Memang benar, salju di bulan Maret terasa lebih menyakitkan daripada menyaksikanmu menangis untuk pertama kalinya. Mungkin, mungkin, kalau dunia hanya seluas kamar saya, barangkali kata-kata tak lagi sesusah itu untuk diucapkan. Barangkali, dengan begitu, saya jadi sempat menggemakan salam perpisahan kepadamu atau mungkin, mungkin, saya memang tidak mau mengucapkan salam perpisahan. Saya memang tidak ingin berpisah dengan siapa-siapa. Tidak ada yang suka perpisahan, apalagi kalau itu berpisah denganmu.
Sebagai gantinya, coba jawab pertanyaannya saya: “Sayang, kalau burung-burung masih mau menetap di sini, maukah kamu jaga diri baik-baik walau perih?”
Oleh: Salsabilla Dewi Kemuning
yang membenci perpisahan dan bulan Maret yang terselimuti salju
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.