Sebenarnya ketidakenakan itu hal yang lucu karena sebagai pemimpin, kita mestinya tidak memiliki perasaan itu. Yang mesti ditanyakan kepada diri kita hanya satu, “Apakah kita diberi uang, rumah, atau makan oleh orang itu?” Nah, kalau kita tidak diberi uang, tidak diberi rumah, dan tidak diberi makan oleh rekan kerja, mengapa kita harus merasa tidak enak? Kita tidak punya utang budi, kok. Hal ini terjadi karena kita terlalu peduli. Kita tidak bisa membedakan hubungan personal dan profesional sehingga kita selalu mencampurkan pertemanan itu dengan pekerjaan. Mestinya, kedua hal itu harus benar-benar dipisahkan. Nah, bagaimana, sih, untuk menjadi lebih profesional?

Yang pertama, kita mesti punya objektif dan berorientasi kepada KPI (key performance indicator/indikator kinerja utama). Jadi, semuanya harus berdasarkan apa yang kita tuju sebagai satu tim. Yang kedua, ketika sudah ada objektif dan KPI, kita perlu berkomunikasi dengan memadai dan jelas. Kita perlu menghindari salah komunikasi sehingga tidak terjadi kesalahan di depan. Kita pun mesti menjelaskan ekspektasi kita sehingga jelas apa yang kita harapkan dari orang itu. Akhirnya, yang ketiga, kita mesti menginspirasi, bukan memerintah, karena kalau kita memerintah, mereka akan merasa disuruh. Nah, ketika disuruh, seseorang akan merasa seperti pembantu, merasa tidak memiliki, dan akhirnya kesal. Kuncinya adalah adalah bagaimana kita bisa menginspirasi mereka untuk bergerak sendiri, untuk mendapatkan wawasan agar mereka proaktif dan bergerak dengan hati, bukan dengan ketakutan.

Pemimpin juga manusia. Kadang muncul perasaan tidak enak dan sungkan untuk menegur, apalagi kepada rekan kerja yang juga merupakan sahabat. Sebagai pemimpin, kita harus objektif. Kadang, menjadi objektif akan membuat orang lain subjektif terhadap keputusan kita.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.