Satu kata untuk tanah Papua: tangguh. Permulaan novel Isinga merupakan sesuatu yang paling saya sukai. Jernih sungai Warsor, hutan perawan di kaki gunung, iringan musik dalam tari-tarian suku Hobone, betatas hasil bakar batu, serta beningnya cinta yang tumbuh di antara mata sepasang remaja kesayangan desa, Meage dan Irewa. Dorothea memulai novel ini dengan tepat sebab keindahan alam dan budaya Papua dalam narasinya segera memikat hati saya sebagai pembaca.

Orang-orang cukup mengenal sastra sebagai kisahan yang pahit karena rekaan di dalamnya berupa kepingan kenyataan. Sejak terjadi penculikan Irewa dan perang antarsuku, keindahan Papua mulai tertinggal di belakang. Duka, luka, perjuangan, dan air matalah yang tersibak kian dalam. Isinga mengambil latar Indonesia pada tahun 70–90-an sehingga tampak benar kesenjangan antara Papua dan kota-kota lain di Jawa. Salah satu aspek yang membuka mata saya betapa kehidupan penduduk Papua jauh dari kata mudah.

Irewa. Satu nama dalam novel yang membuat saya rela untuk menyamakan definisinya dengan kata tangguh. Setelah kehilangan jejak Meage, ia terpaksa menikah dengan penculiknya, Malom dari suku tetangga sebagai syarat damai menghentikan perang antarsuku. Nahasnya, Malom bukan lelaki yang benar-benar mencintai Irewa. Ia menyalahgunakan prinsip adat tentang pernikahan dan memperlakukan Irewa lebih seperti hasil beli binatang ternak. Malom menyetubuhi Irewa seenak hatinya, tanpa peduli kondisi Irewa sehabis meladang atau bahkan setelah melahirkan beberapa pekan.

Seiring dengan berjalannya waktu, ada kemajuan di sebagian daerah Papua. Namun, bentrokan terjadi antara tentara dan penduduk sipil. Kesenjangan pengetahuan antara penduduk Papua dan para pendatang itu menimbulkan gesekan besar yang bahkan bisa jadi masih membekas hingga hari ini. Tak hanya itu, pembangunan prostitusi di dekat pelabuhan membuat marah para istri dan ibu. Akan tetapi, hal buruk tetap tak terhindari, demikian pula tabiat Malom yang gemar mabuk dan bersenang-senang di sana, lalu pulang memberikan penyakit sifilis pada Irewa.

Perempuan Iko adalah sebutan bagi para perempuan suku di Papua yang berarti perempuan kuat. Irewa mewakili itu. Ia berhasil menerjemahkan makna tangguh ke dalam nama dan perjuangannya sebagai perempuan. Lebih dari itu, Irewa berhasil menyintas penyakitnya dan berakhir hidup berdikari bersama dua anak terakhirnya.

 

Penulis: Qatrunnada Kirana

Penyunting: Dessy Irawan

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.