Anime serial Japan Sinks: 2020 bercerita tentang sekelompok orang yang berupaya menyelamatkan diri dari ancaman gempa bumi yang berpotensi menenggelamkan kepulauan Jepang. Dalam situasi itu, mereka bertemu dengan orang-orang dari berbagai kalangan dan menjumpai berbagai masalah sosial.

Serial yang diadaptasi dari novel karangan Sakyo Komatsu ini tidak hanya menyajikan ketegangan lewat visualisasi detik-detik tenggelamnya daratan Negeri Sakura, tetapi juga menyelipkan problem kemajemukan yang ada di masyarakat Jepang. Anime yang ditayangkan saluran Netflix ini menyuarakan isu pluralitas, seperti persoalan gender, stereotip, dan diskriminasi etnis.

Salah satu isu yang dipotret dalam anime ini adalah sinisme terhadap hal yang berbau Barat. Penggambaran situasi tersebut begitu kentara saat salah seorang tokoh cerita yang bernama Go (Tomo Muranaka) mendapatkan pandangan sinis dari orang tua Negeri Sakura.

Go digambarkan memiliki sikap yang gandrung akan Barat. Ia penikmat game online dan bercita-cita untuk ikut serta dalam kejuaraan dunia e-Sports. Saat berbincang, Go kerap menyelipkan ungkapan berbahasa Inggris.

Sikapnya yang kebarat-baratan itu tidak disukai oleh para orang tua. Bagi mereka, anak muda harus menjaga kelangsungan adat dan budaya Jepang alih-alih berperilaku seperti orang Barat.

Tokoh Go kembali beroleh sikap sinis atas sikapnya yang kebarat-baratan saat bertemu dengan seorang kakek pemilik swalayan. Go beroleh bentakan dari orang tua ini karena melontarkan istilah berbahasa Inggris.

Selain membentak, sang kakek juga meminta Go untuk tidak mencampuradukkan bahasa Jepang dengan bahasa asing. Ia bahkan memaksa Go untuk berkomunikasi dengan bahasa setempat saat berbincang-bincang dengannya.

Tidak hanya membentak Go, orang tua pemilik swalayan itu juga enggan mengajak tokoh Daniel yang keturunan Yugoslavia untuk masuk ke dalam mobilnya. Sang Kakek menyebut hanya orang Jepang yang boleh masuk ke dalam mobilnya.

Sikap diskriminatif terhadap orang asing juga ditunjukkan petugas penyelamat yang hanya mau mengangkut warga asli Jepang. Akibatnya, ibunda Go, seorang warga Filipina yang telah lama menetap dan menikah dengan orang Jepang, tidak boleh ikut ke dalam rombongan penyelamat.

Anime ini juga memotret sikap diskriminatif terhadap gender yang menempatkan sosok perempuan pada posisi yang inferior.

Di episode ke-3 dan ke-4, dua tokoh perempuan dalam anime ini mengalami percobaan perkosaan. Kedua perempuan itu dipandang rendah dan dianggap mau mengikuti hasrat laki-laki di tengah kesepian yang melanda mereka.

Ucapan tegas ibunda Go yang mengajak orang-orang untuk berlindung dari ancaman gempa besar juga diabaikan oleh warga setempat. Mereka tidak mengindahkan ibunda Go karena ia hanya perempuan yang baru berada di tempat perlindungan dan tidak tahu apa-apa.

Apakah aneka problem sosial itu merupakan potret riil masyarakat Jepang? Tidak ada yang tahu. Namun setidaknya, penonton akan beroleh penjelasan pada pengujung tayangan saat sejumlah tokoh cerita terlibat obrolan seru.

Go menyebut orang-orang Jepang memiliki sifat pemalu dan individualis serta cenderung egois. Sementara orang-orang Barat dianggapnya begitu percaya diri dan hidup bersosial.

Salah seorang tokoh kemudian menyanggah pernyataan Go dan menyebutnya terlalu simplistis dan menyamaratakan. Sebab, bagi tokoh ini, terlepas dari stereotip yang disebutkan Go, orang-orang Jepang sudah membuktikan keunggulannya dalam hal memproduksi perangkat teknologi dan membangun perusahaan yang mampu bertahan lama dan mendunia.

Bagaimana? Apakah Anda setuju dengan kesimpulan mengenai stereotip itu?

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.