Jeroan
Orang Jepang mengonsumsi jeroan sejak dahulu. Kebiasaan memakan organ dalam hewan itu kian kuat dan kentara usai Perang Dunia II. Sebabnya, pada saat itu, kebutuhan pangan sulit didapatkan sehingga dalaman perut hewan pun turut dikonsumsi.
Selain itu, gaya hidup menghindari kesia-siaan atau mottainai turut melambari kebiasaan orang Jepang memakan jeroan. Nilai kehidupan itu tidak hanya diucapkan, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu praktiknya adalah menyantap organ dalam hewan.
Oleh karena itu, wajar jika kemudian aneka jenis masakan berbahan dasar jeroan babi dan sapi atau horumon dan motsu menjadi pilihan makanan orang Jepang dewasa ini. Bahkan, banyak orang Jepang meyakini bahwa jeroan dapat meningkatkan stamina, menambah energi, dan meredakan stres.
Salah satu jenis kuliner yang terkenal di Jepang adalah horumon-yaki. Makanan itu begitu populer di Osaka sejak 1940-an. Menurut dialek warga Kansai, kata horumon berarti ‘yang dibuang’. Kini, makanan tersebut merupakan jenis kuliner alternatif bagi mereka yang mau merasakan sensasi memakan wagyu yang harganya tentu jauh lebih mahal daripada horumon-yaki.
Horumon-yaki adalah barbeku berupa aneka jeroan sapi—mulai dari rongkong, usus, hingga hati. Jeroan ini diasinkan terlebih dahulu sebelum dipanggang di atas arang yang membara. Cara memasak dan menghidangkannya yang mirip seperti mengolah steik dapat membuat penikmatnya serasa sedang berhadapan dengan wagyu.
Jenis kuliner berbahan dasar jeroan lain yang juga populer di Jepang adalah motsunabe. Hidangan jeroan itu banyak ditemui saat musim dingin, terutama di Prefektur Fukuoka. Jeroan yang ada dalam masakan tersebut biasanya berupa organ dalam babi atau sapi.
Motsunabe disajikan dalam sebuah panci yang diletakkan di atas kompor mini yang mengeluarkan api atau hot pot. Dengan begitu, orang yang mengonsumsinya dapat merasakan sensasi hangat di badan, apalagi setelah ia memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.
Kuah yang menyertai jeroan tersebut adalah sup kedelai khas Jepang atau miso. Isian masakan itu begitu kaya karena terdapat aneka jenis sayur, seperti kubis dan bawang putih. Jeroan yang dipakai biasanya usus sapi yang sudah dipotong kecil-kecil. Tekstur jeroan yang begitu halus itu dapat langsung meleleh saat berada di mulut.
Selain horumon-yaki dan motsunabe, orang Jepang juga menyukai ankimo. Ankimo adalah jenis kuliner unik karena berbahan dasar hati ikan monkfish yang sudah diolah dan dibentuk seukuran susyi. Ia juga bisa langsung dimakan karena sudah dikukus sebelumnya.
Orang Jepang biasa menjadikan ankimo sebagai hidangan pembuka. Makanan ini terasa enak saat disiram kecap ponzu, seperti halnya saat sedang menyantap susyi. Soal harga, penyedia ankimo memasang tarif yang relatif mahal, yakni sekitar Rp140 ribu untuk 2—3 potong.
Jenis kuliner berbahan dasar jeroan yang tidak kalah unik dibandingkan dengan ankimo adalah shirako. Shirako atau yang sering juga disebut shiraku merupakan salah satu sajian jeroan yang cukup aneh. Bentuknya yang mirip dengan mayones sebenarnya adalah kantung sperma ikan kod atau salmon.
Biasanya, shirako dihidangkan di atas nasi atau dibalut dengan tepung seperti tempura. Namun, adakalanya, ia disajikan mentah-mentah dengan daun bawang. Makanan itu mungkin menjadi tantangan spesial bagi mereka yang menggemari telur ikan.
Bagaimana? Apakah ada yang tertarik untuk mencoba salah satu dari pelbagai jenis kuliner berbahan dasar jeroan di atas?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.