Johar Baru: Distrik Distopia di Jakarta
Apa yang terpantik dalam benak tatkala mendengar istilah distopia? Kemiskinan? Kerusuhan? Keonaran? Pemberontakan? Intrik politik? Kudeta? Menurut KBBI, kata distopia memiliki definisi ‘tempat khayalan yang segala sesuatunya sangat buruk dan tidak menyenangkan serta semua orang tidak bahagia atau ketakutan, lawan dari utopia’.
Lawan dari utopia, saya setuju. Perbedaannya, Johar Baru bukan tempat khayalan. Dia ada dan nyata di tengah ibu kota. Jikalau orang menyebut Cempaka Putih, lawan bicaranya mesti berseru, “Oh!”. Lain perkaranya kalau Johar Baru disebut. Hanya dengung lebah yang keluar dari pita suara mereka. Namun, tulisan ini bukan rengekan agar Johar Baru dikenal dan dielu-elu. Anggap saja ini panduan wisata singkat tentang salah satu distrik di tengah Jakarta yang berdiri bersisian dengan gedung-gedung tinggi. Ia ibarat bayangan di balik sinaran cahaya: ada, tetapi taktampak di mata.
Tinjaulah paragraf pertama. Tepatkah semua itu disematkan pada lencana kebobrokan Johar Baru? Duh, agaknya melewah. Mari hapus kata pemberontakan dan kudeta, lalu ganti kata ketakutan dalam definisi KBBI itu menjadi tak berdaya. Lihatlah tempat tinggal mereka yang rerata dibangun dari kayu bekas kualitas lapuk di tepi kali. Menapak tanah, tetapi rawan rubuh; bisa rusak diterjang angin kencang; lamat-lamat terseret abrasi sungai hitam penuh sampah; dan sekalinya terjadi kebakaran, paling sedikit dua-tiga rumah jadi korban. Bayangkan saja, rumah-rumah itu hanya berupa petak, tetapi diisi empat sampai lima keluarga.
Belum lagi ritual rutin tahun-tahun terdahulu yang sampai menggiring distrik ini ke dalam zona merah sosial: tawuran. Wara-wara selalu disampaikan dari mulut ke mulut beberapa jam sebelum tempur gadungan berlangsung. Lalu, warung-warung akan tutup, tukang nasi uduk berkemas, serta tiap etalase dan jendela kaca dilapisi kayu agar tak pecah. Semua orang memasuki rumah dan mengupayakan tak ada celah terbuka. Mereka lantas mengoleskan pasta gigi di bawah kelopak mata sebagai antisipasi gas air mata. Lalu, keonaran dimulai. Percaya tak percaya, jalan kediaman saya itu konon dikenal sebagai wilayah “Nasi Uduk Perang”, meski saya tidak tahu pasti apa maksudnya.
Kemiskinan adalah kendala utama di Johar Baru. Memang banyak pengangguran. Namun, bukan berarti sisa penduduknya tidak bekerja. Selagi kota-kota sibuk mempermudah diri dengan teknologi dan kebermanfaatannya, orang-orang di sini masih mengerahkan tenaganya berkali lipat lebih besar dari yang seharusnya. Siang-malam mereka berdagang nasi, memulung sampah, mengolah kedelai, berdagang keliling, mencuci piring, menyapu jalan, mereparasi kendaraan, hingga menarik bajaj. Bahkan, bagi mereka, untuk membuang kotoran saja perlu berjalan lebih jauh menuju WC umum, menyisihkan beberapa peser uang, dan barulah segalanya tuntas. Setelah segala yang dikerahkan itu, jerih payah mereka rupanya hanya berbuah upah yang cukup ampuh untuk memicu pertikaian keluarga atau membeli rokok beberapa batang.
Segala aspek dalam hidup mereka terbatas. Tak semua memiliki akses leluasa ke kamar mandi, tontonan yang tersaji lebih banyak drama dan sinetron televisi, serta kuota ponsel tak selalu mudah dibeli. Keterbatasan uang juga lebih sulit memberikan mereka pilihan manakala tekanan datang. Wisata mereka sebatas naik odong-odong keliling kecamatan, ngopi Granita, membuat kebisingan pukul tiga pagi, dan hujan-hujanan. Bagi mereka, mendengar dangdut dari biduan jalanan nan amatir lebih mudah ketimbang mengunduh Spotify, apalagi bertandang ke kedai kopi, mal, atau menonton konser. Bekerja bagi mereka menyita waktu sekali, pun hiburan sulit dicari. Oleh sebab itu, tak usah kaget kalau-kalau bertemu orang Johar Baru dan mendapatinya galak sekali. Telapak tangan mereka bisa jadi sekeras hidupnya.
Saya merasa beruntung tidak tumbuh di distrik ini. Namun, ketika tiba dan menetap untuk sementara, saya sadar akan hal-hal tersebut dan berusaha menerjemahkan sebuah grafiti di tengah jalan: RIP Keadilan ‘matinya keadilan’. Akankah hadir protagonis heroik di tengah distrik distopia ini? Jangan menunggu. Belajar dari kehidupan di Johar Baru: berharaplah seperlunya sebab ini distopia, bukan utopia.
***
Penulis : Qatrunnada
Penyunting : Shafira Deiktya
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.