Malam-malam di Jakal masih seperti biasanya. Seperti sejak lima atau enam tahun kemarin saat pertama kali menetap lama, setiap datang ke sana, saya sama sekali tidak pernah khawatir dengan wajah masa depan Indonesia, terutama seninya. Bentuk yang bagaimana pun sudi mampir pada pandangan saya. Mulai dari yang dinilai sebagai seni jalanan sampai keluhuran, Jogja sangat adil memandang segala bentuk aktivitas kesenian yang datang, bahkan dari ruang terkecil dan kotor sekali pun.

Selayaknya isi cerita-cerita kesenian, intensi karya yang hadir tidak datang dari persaingan atau berebut panggung, tetapi ekspresi diri. Semua dilakukan atas dasar diri dan keakuannya. Akhir-akhir ini saya sedikit keliru memandang cerita itu. Saya pernah mengira itu bahasa halus dari laku yang seenaknya. Seniman mencorat-coret kuas, membangun instalasi, atau menggambar untuk sekadar melampiaskan emosinya yang signifikan. Ternyata saya salah. Belakangan saya tahu, selain membongkar isi hati, seniman mengonversi atau merekam banyak nilai dalam karyanya. Lebih dalam dari sekadar berekspresi, ia menumpahruahkan nilai yang ia yakini, meresahkannya, mengenangnya, dan hidup di dalamnya. Nilai yang selalu diyakininya itu diantar melalui karya. Karya yang dilihat berupa pesan betapa nilai itu menjadi getir panjang bagi pengarya. Saya baru tahu bahwa karya-karya adalah dialog mendalam dan keliaran yang menyatu. Barangkali, sejarah akan membentuk budaya nyeni ini dengan bersumber pada narasi-narasi yang sangat pribadi dan spiritual. Benar tidaknya urusan lain. Yang penting kebebasan seniman untuk bercerita perlu diapresiasi. Kota Jogja ini menjadi aman untuk membuat sejarah itu nyata.

Jogja terlampau magis untuk sekadar jadi tempat wisata dan hura-hura, juga terlalu sayang untuk jadi tempat bersemayamnya cerita cinta. Banyak yang akan bercerita tentang mencintai klakson yang tak pernah ada di Jogja atau tentang mencintai joglo, nilai adat, dan mbah-mbah berbahasa kromo. Bagi saya, Jogja adalah soal mencintai seni dan segala kandungannya. Lagi-lagi bagi saya, mencintai Jogja adalah mencintai seni. Dan, memilih mencintai seni berarti memilih untuk tidak dimengerti.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.