Dua puluh tahun lalu, ketika Ibu memutar lagu “Dancing Queen” dari ABBA, hati saya berkata, “Musik benar-benar mengagumkan, ya.” Rasa kagum itu kemudian bertambah besar seiring waktu, sembari saya menjelajahi lagu-lagu Westlife, Peterpan, J-Rocks, Avenged Sevenfold, Muse, Jason Mraz, Dream Theater, dan Queen. Penjelajahan pun berlanjut dengan mencicipi berbagai jenis musik, mulai dari pop, rok, metal, klasik, musikalisasi puisi, hingga musik film. Untuk jenis yang terakhir itu, saya berterima kasih kepada John Williams dan Hans Zimmer.

Secara personal, musik kerap menjadi jembatan bagi saya untuk berkenalan atau mendekatkan diri dengan orang lain. Pada setahun terakhir, misalnya, saya bisa bekerja sama dengan Adnan, kibordis Rubah  di Selatan—salah satu band indi ternama dari Yogyakarta, untuk melahirkan Dramaturgi, album pendek pertama dari Layang—grup musik saya bersama seorang kawan. Saya pun dapat memperluas lingkaran pertemanan dengan berbagai pelaku kesenian di kota yang penuh nilai sejarah ini.

Musik juga menemani saya melewati waktu-waktu yang berat. Ketika sedang kesepian atau merasa bahwa hidup hanyalah kesia-siaan, saya mendengarkan musik yang sesuai untuk mengiringi perasaan. Terkadang saya pun menemukan lagu yang liriknya sangat menggambarkan suasana hati kala itu, seperti “Far from Heaven” dari Dream Theater dan “Wish You Were Here” dari Pink Floyd.

Selain itu, ada tiga keping musik yang saya rasa tepat sekali untuk menggambarkan jalan hidup: “Orchestral Suite No.3 in D Major” dari Johann Sebastian Bach, “Theme from Schindler’s List” dari John Williams, dan “Nocturne Op. 9 No. 2 in E Flat Major” dari Frédéric François Chopin. Musik Bach mencerminkan masa anak-anak dan remaja yang penuh harapan meski sesekali harus bersabar menghadapi rintangan. Musik Williams merangkum masa sedih dewasa, masa saat banyak orang pergi karena punya takdir yang berbeda. Sementara itu, musik Chopin melukiskan asa untuk bertenang diri pada masa senja nanti.

Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa musik senantiasa mengiringi perkembangan manusia. Kalau saya pikir-pikir, ia serupa dengan bahasa. Yang menarik, keduanya berhakikat pada bunyi. Lalu, apakah bahasa itu musik dan musik itu bahasa? Mungkin saja. Yang jelas, saya ingin berterima kasih kepada alam semesta yang telah menciptakan musik sebagaimana yang ABBA lantunkan dalam lagu “Thank You  for  the Music”.

Nama aslinya memang Rubah Di Selatan. Begitu yang tertera pada akun Instagram mereka.

Judul aslinya memang begitu sebagaimana tertulis pada akun YouTube dan Spotify mereka.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.