Orang Jepang
Fakta mengenai kebudayaan Jepang modern yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan negeri Tiongkok tentu sudah diketahui oleh banyak orang. Namun, dua hal berikut ini pasti menjadi informasi baru bagi sebagian orang. Budaya tertib masyarakat Jepang rupanya sama sekali tidak berkaitan dengan rasa takut kepada Tuhan. Lalu, kehadiran sosok pengkhianat ternyata sangat menentukan dalam sejumlah perang penting di Jepang.
Dua topik di atas diperbincangkan secara menarik oleh dua pakar kebudayaan Jepang, Donald Keene dan Ryotaro Shiba. Perbincangan itu tertuang dalam buku yang terbit pada 2016 dengan tajuk The People and Culture of Japan: Conversations between Donald Keene and Shiba Ryotaro.
Buku itu boleh disebut sejenis notula diskusi antara sejarawan Jepang, Donald Keene dan budayawan Jepang, Ryotaro Shiba. Narasinya yang berbentuk percakapan begitu mudah dipahami. Meski berbentuk dialog, uraiannya tidak berantakan. Narasinya disusun berdasarkan topik tertentu dengan pembabakan yang jelas. Dengan begitu, kita sebagai pembaca dapat dengan mudah memahami konteks narasi yang dibicarakan.
Salah satu topik menarik yang dibahas dalam buku ini adalah alasan di balik budaya tertib masyarakat Jepang. Menurut Shiba, budaya tertib masyarakat Jepang tidak ada sangkut pautnya dengan rasa takut akan Tuhan atau rasa kemanusiaan. Sikap itu hadir karena mereka enggan mempermalukan diri sendiri.
Masyarakat Jepang sangat menghindari cemooh dan tertawaan dari orang lain. Oleh karena itu, mereka enggan melakukan tindak kriminal. Sebab kalau sampai bertindak kriminal, mereka akan mempermalukan anggota keluarga dan para sahabat.
Topik lain yang tidak kalah menarik adalah hal yang disinggung Donald Keene mengenai faktor penting yang sangat menentukan kemenangan dalam banyak perang di Jepang. Menurut sejarawan kelahiran Amerika Serikat itu, sosok pengkhianat hampir selalu hadir menjadi aktor penentu dalam peperangan di Jepang. Sosok itu bahkan mampu mengalahkan segala jenis taktik dan strategi perang ala Sun Tzu sekalipun.
Kehadiran sosok pengkhianat setidaknya terjadi pada Perang Genpei (1180–1185) dan peperangan pada periode penyatuan Jepang (1467–1603). Bagi Shiba, budayawan Jepang cum penulis novel sejarah, fakta itu menimbulkan kesan bahwa perang di medan tempur tak lebih dari sebuah drama semata, tidak begitu menarik. Hal yang paling menarik justru terjadi sebelum peperangan itu, yakni saat lobi-lobi dan sosok pengkhianat muncul.
Tentu saja, fakta tersebut mengganggu kepercayaan sebagian orang yang kerap mengaitkan Jepang dengan sikap setia. Namun, Shiba menyampaikan klarifikasinya bahwa sikap setia pada masyarakat Jepang hanya hadir dalam hubungan pelayan dengan majikan atau antara bawahan dan atasan. Kesetiaan, menurut dia, tidak terjadi pada hubungan kemitraan seperti persekutuan perang.
Selain soal-soal serius, buku ini juga membincangkan topik yang ringan. Dulu, kata Shiba, masyarakat Jepang pernah menganggap Belanda sebagai pusat dunia Barat. Oleh karena itu, banyak orang Jepang kemudian mempelajari bahasa Belanda dan ilmu kedokteran di Negeri Kincir Angin.
Namun, lambat laun masyarakat Jepang menyadari bahwa pusat dunia Barat bukan Belanda. Mereka lantas meninggalkan bahasa Belanda dan beralih ke bahasa Inggris. Keputusan itu, menurut Keene, betul-betul membuat sedih orang Belanda.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh mereka yang berminat memahami masyarakat dan budaya Jepang secara sepintas lalu. Namun, bagi mereka yang ingin berkenalan dengan sejarah kesusastraan Jepang, buku ini juga tepat untuk dijadikan sebagai pintu masuk.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.