Ayahku gemar sekali minum kopi. Katanya, hari terasa hampa kalau tidak dimulai dengan minum secangkir kopi. Apalagi profesi beliau memang membutuhkan konsentrasi dan daya tahan tubuh yang tinggi. Ya, beliau adalah seorang TNI Angkatan Laut yang bertugas di kapal selam. Hari-hari beliau banyak dihabiskan di bawah laut untuk latihan. Kalau yang aku dengar dari cerita beliau, sih, bertugas di kapal selam memang berat. Bayangkan, kalian berada di ruang sempit selama hitungan hari bahkan bulan dengan orang yang sama. Pemandangan di luar pun tidak menarik dilihat, gelap dan hanya sesekali ada ikan menghampiri. Tidak sedikit orang yang stress ketika harus bertugas pada kondisi seperti itu. Maka dari itu, beliau kerap berdalih butuh kopi agar tetap bisa fokus menjalani tugasnya di bawah laut.

Setiap pagi, aku rutin membuatkan kopi untuk Ayah dan beliau pasti menghabiskannya sebelum berangkat bekerja. Namun, hari ini ada yang berbeda. Ayah berangkat tergesa-gesa sampai tidak sempat menyentuh kopi buatanku. Aku melirik jam di ponsel. Pukul 02.45 pagi. “Ayam saja belum bangun, tapi Ayah sudah tergesa-gesa untuk pergi” batinku. Hari ini Ayah dan teman-temannya akan mengadakan latihan peluncuran torpedo sekaligus uji kelayakan salah satu kapal selam milik TNI Angkatan Laut. Sebelum mengenakan sepatu, beliau menatapku sejenak dan berpesan supaya aku menjaga Ibu dan adik. Aku hanya mengangguk perlahan dan sontak memeluk Ayah dengan erat. Entah kenapa saat itu ada bagian dalam diriku yang tidak rela melepas Ayah pergi latihan. Padahal seminggu sebelumnya juga beliau pergi latihan dan aku merasa baik-baik saja. 

Waktu menunjukkan pukul 07.35 pagi ketika aku mendengar ponsel Ibu berdering dan beliau mengangkatnya dengan tergesa-gesa. Belum sampai satu menit mendengarkan perkataan dari lawan bicaranya di telepon, air mata mengalir deras dari kedua matanya. Baru saja aku hendak membuka mulut untuk bertanya, Ibu langsung menutup telepon dan menyampaikan sebuah kabar. Kabar yang membuatku tersentak bagaikan mendengar petir di siang bolong. 

Aku hanya bisa diam dan terisak perlahan. Pikiranku kalut dan lidahku kelu. Adikku yang masih berusia 5 tahun hanya menatapku dan Ibu dengan raut wajah bingung. Seketika pandanganku tertuju pada secangkir kopi yang ku siapkan tadi. Kopi terakhir yang aku siapkan untuk Ayah. Kopi yang selalu mendapat pujian dari Ayah walau terkadang aku salah memberi takaran gula. Kopi yang menjadi andalan Ayah karena beliau tidak suka merek lain. 

Kini, kopi tersebut kehilangan salah satu penggemarnya. Selamat jalan, Ayah. Selamat berpatroli menjaga laut Indonesia selamanya.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.