Pengarang novela setebal 128 halaman ini bernama Hideo Furukawa. Ia adalah penulis fiksi Jepang yang meminati dunia teater.

Hideo Furukawa dikenal sebagai penulis yang rajin bereksperimen dengan penulisan cerita. Hampir setiap karyanya menyajikan teknik penuturan cerita yang berbeda dari karya sebelumnya. Atas daya kreatif itu, ia diganjar sejumlah penghargaan bergengsi, seperti Mystery Writers of Japan Award, Japan SF Grand Prize, dan Yukio Mishima Award.

Karya terbarunya yang terbit dalam bahasa Inggris adalah Slow Boat (2017). Judul ini mirip titel cerita pendek (cerpen) karya Haruki Murakami berjudul “A Slow Boat to China” yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen The Elephant Vanishes.

Kemiripan judul itu disadari sendiri oleh Furukawa sebagaimana tertulis di bagian epilog buku. Baginya, penggubahan judul itu merupakan bentuk penghormatan atas karya besar Haruki Murakami.

Seperti halnya sejumlah novela karya penulis Jepang lain, karakterisasi, alur cerita, dan konflik yang disajikan dalam buku ini tampak biasa saja. Namun, jika mau merenungkannya sejenak, kita akan menemukan makna hidup yang begitu dalam di sana.

Seperti halnya Ms Ice Sandwich (2017) karya Mieko Kawakami dan The Factory (2019) karya Hiroko Oyamada yang bercerita tentang kehidupan orang dengan masalah hidup yang jamak, Slow Boat juga menceritakan kisah yang tidak jauh dari itu. Inilah kisah pemuda bernama Boku yang mengalami kepedihan hidup, di antaranya, akibat ditinggal pergi tiga perempuan yang dikasihinya.

Sejak kecil, Boku terjebak dalam kehidupan yang malang di Tokyo. Karena perilakunya yang tidak lazim, ia harus menjalani masa SD di sekolah yang berisi siswa buangan. Di sanalah ia kemudian bertemu dengan cinta pertamanya. Namun, sayang, ia ditinggal pergi oleh cinta pertamanya itu.

Saat kuliah, ia kembali jatuh cinta kepada seorang perempuan. Namun, ia harus melepas pergi kekasihnya itu karena kejadian konyol di sebuah kereta.

Saat bekerja, ia kembali menemukan perempuan yang sangat ideal untuk dijadikan pasangan hidup. Akan tetapi, lagi-lagi, ia malah membiarkan pergi kekasihnya. Ketiga perempuan yang dicintainya pergi meninggalkan Tokyo—daerah yang sangat ingin ditinggalkannya juga, tetapi tidak pernah bisa.

Dalam hidup, apalagi dengan kerumunan nasib buruk dan masalah yang membelit, bukankah wajar jika seseorang berharap untuk meninggalkan sebuah daerah, kota, atau negara yang disinggahinya? Begitu pun Boku. Ia merasa kemalangan yang selalu mengitari hidupnya di Tokyo akan segera berakhir setelah ia meninggalkan wilayah itu.

Untuk meraih impiannya tersebut, ia berusaha keras dan tegar menerima nasib meski takdir yang menyertainya berulang kali berkata lain.

Boku adalah representasi banyak orang. Ia adalah cermin dari mereka yang masih terus menyimpan mimpi meski hidupnya kerap kali dirubung kemalangan.

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.