Ada-Ada Saja Penduduk Bumi
Sabar itu ada batasnya, enggak?
Jika jawabannya “enggak ada batas” atau “tanpa batas”, mengapa ada yang mengatakan “semua ada batasnya.”
Saya mulai mencerna beragam jenis jawaban, tetapi tidak menemukan jalan keluarnya.
Ada lagi yang tiba-tiba mencurahkan isi hatinya (curhat) kepada saya dengan ringkasan seperti ini:
- Saat jadi pelajar, ada yang menginginkan untuk cepat lulus supaya bisa terbebas dari beban amarah guru-guru killer dan tugas PR yang begitu banyaknya. Ini peristiwa curhatnya murid les saya ketika saya masih mahasiswa.
- Saat sudah lulus, ada yang menginginkan untuk cepat dapat status baru karena tidak mau lama-lama menganggur. Ini curhatan rata-rata teman saya yang baru dapat gelar sarjana.
- Saat bekerja, ada yang merasa begitu sibuk dan mengeluh pekerjaan begitu banyaknya sampai tidak punya waktu. Ini curhatan baru-baru ini.
Semua itu terlihat seperti runtutan peristiwa atau sebuah fase perjalanan manusia. Semuanya, jika difokuskan melihat ke dalam diri sendiri, hanya butuh satu kunci, yaitu syukur.
Memang tidak semudah itu, tetapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Toh, yang sering menjadikan berat dan menjadi sumber masalah ialah karena sudah melihat kacamata orang lain. Kita jadi lupa tentang rasa syukur yang diajarkan. Inilah bentuk curhatan yang sebelumnya jika dirincikan ulang.
- Saat jadi pelajar, ada yang menginginkan untuk cepat lulus supaya bisa terbebas dari beban amarah guru-guru killer dan tugas PR yang begitu banyaknya karena melihat orang-orang yang sudah lulus tidak menemui guru killer dan tidak ada beban PR dari guru. Dengan demikian, muncul keinginan untuk cepat lulus.
- Saat sudah lulus, ada yang menginginkan untuk cepat dapat status baru karena tidak mau lama-lama menganggur. Ini yang sering jadi peristiwa pelik. Cara orang menyikapinya berbeda-beda. Namun, satu hal yang perlu diingat supaya lurus dengan maksud tulisan ini, cukupkan untuk diri sendiri saja, yaitu memang ingin mencari pekerjaan untuk menghidupi diri. Jangan tambahi beban “malu” pada kacamata orang lain, atau rasa takut diejek “pengangguran”. Toh, terima saja. Apa susahnya mengakui realitas? Yang pasti, diri kita memang tetap berusaha, bukan hanya rebahan.
- Saat bekerja, ada yang merasa begitu sibuk dan mengeluh pekerjaan begitu banyaknya sampai tidak punya waktu. Mungkin orang itu terlalu melihat mereka yang di media sosial bebas bisa pergi berlibur ke sana-sini, melihat usaha teman-teman yang bisa santai saja di rumahnya sendiri, dan masih banyak hal lain. Memang, ya, rumput tetangga akan jauh lebih hijau. Sebenarnya, saya yang harus bertanya pada diri sendiri, mengapa saat itu memilih pekerjaan itu? Remember why you started. Secapai-capainya diri karena mengeluh sibuk dengan beban pekerjaan, saya lebih beruntung dari mereka yang masih dalam proses pencarian pekerjaan.
Akan selalu ada yang lebih. Sering dengar, kan, “di atas langit masih ada langit”? Semua seperti menu makanan. Kita perlu memilih yang mau dihidangkan. Akhirnya, itu akan kembali pada kendali diri saya sendiri. Bukan orang lain. Pun sudah disiapkan penghakiman teradil nantinya. Sebenarnya sudah banyak pesan dari pendahuluuntuk tidak perlu berlelah-lelah agar tampak baik di mata orang lain. Urusan penilaian orang lain semata-mata menjadi bonus. Jika baik, disyukuri, jika buruk pun, semua kendali ada pada diri saya. Kita bisa memilih untuk marah-marah lalu mencaci, atau membenahi diri jika memang itu baik bagi saya. ☺
Oh, iya. Bantu saya jawab pertanyaan di awal, ya. Sabar itu ada batasnya, enggak?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.