Kali ini hanya terdiam, bertiga dengan dua orang teman. Berusaha memahami malam –yang entah kapan mulainya. Padahal, langit sudah gelap, matahari sudah pamit undur diri, dan bulan sedang berdiskusi dengan awan tentang siapa yang akan mengalah malam ini. Malam kali ini tidak terasa seperti malam. Gurau tawa hanyalah penghias palsu dalam otakku. Tak sampai jiwa ini untuk merasakan malam. Apa yang kurang? Apa yang salah? Sungguh tak seperti biasanya.

Aku dan kedua temanku seperti biasa: hanya berselonjor, beralaskan tikar di depan rumah sambil sekali-kali digoda oleh gumpalan asap rokok –yang entah kenapa asapnya seolah berubah menjadi tangan yang sedang menempel di bibir perempuan sambil berucap, “Sini sayang, jamah aku, peluk aku, habisi aku”. Ah, andai saja aku bisa balikkan lagi dengan rokok.

Tetap saja, malam tidak terasa begitu malam, tawa demi tawa, palsu demi palsu, hatiku meronta “Ada apa malam ini?”. Tak lama setelah aku menenangkan hatiku yang makin sering mengeluh, temanku yang satu pamit pulang. Katanya, ibunya sudah memasak nasi empal kesukaannya. Kami berdua pun berdiri, membiarkan teman kami yang satu itu pulang, balik ke rahim ibunya, kembali memakan makanan yang dipilihkan ibunya.

Tak lama setelah kepulangan temanku yang satu itu, malam ini seolah hidup. Rumput di depan tempat kami duduk mulai menari seolah sedang riang akan sesuatu. Angin pun memberikan irama –memainkan lantunan Jazz Jepang yang indah lengkap dengan bas dan drum yang tak beraturan. Aku melihat ke atas, bulan pun sedang merayakan kemenangannya atas awan. Ia tak menari seperti rumput, tetapi hanya sekadar menyalakan cerutu hadiah dari bawahannya, Bintang Utara. Semua tiba-tiba terasa hidup. Inilah Malam yang kucari yang kurasakan setiap malam. Ingin rasanya kutekan agar ia tidak pergi setelah pagi datang. Aku berpikir: mengapa kali ini Malam datang terlambat?

“Malam, aku ingin kamu hadir sebentar. Sudah lama juga ‘kan kita tak bicara? Sini sebentar dan jawab pertanyaanku.”

Malam, dengan segala kesibukannya datang.

“Apa kabar, Kawan? Lama kau tak panggil aku.”

“Malam, kali ini aku punya pertanyaan, mengapa kali ini kamu datang terlambat tak seperti biasanya? Apa karena temanku itu si pemakan empal?”

“Kawanku, otakmu tajam seperti biasanya. Jadi begini, aku hanya bisa hidup jika kamu kembali berdua dengan temanmu itu, siapa namanya? Aku lupa.”

“Oh, ini, namanya Renung, masa kamu lupa”

“Nah iya, itu dia, aku suka dengan Renung. Dia tak memberimu palsu. Dia tak memberimu kebodohan. Dia tak membuang waktumu. Dia justru kaya akan ilmu dan penuh dengan kebijaksanaan. Aku senang seperti ini ketika hanya ada kamu dan Renung.”

“Kenapa kamu begitu peduli padaku, Malam? Bukankah seharusnya engkau hanya hidup lalu mati dan hidup kembali?”

“Aku awalnya tak peduli, tapi kamu dan Renung, kata si Siang, selalu menunggu saat ini sepanjang hari. Setelah keringat bercucur dan otak sudah menggantungkan sarung tinjunya, akulah yang kalian berdua rindukan. Aku tersanjung dan terharu makanya aku minta kepada semua kaum malam untuk menyambutmu dengan sebaik-baiknya sambutan. Itulah yang kamu rasakan setiap malam. Namun, malam ini para kaum malam melapor bahwa kamu dan Renung seperti ada jarak. Renung seperti terlihat cemburu dengan si pemakan empal.”

“lya betul, Renung tidak hanya cemburu, tetapi ia benci dengan sesuatu yang sia-sia untukku. Ia begitu sayang padaku. Lagipula kenapa kau begitu memperhatikan perasaan Renung?”

Malam pun terdiam sebentar lalu menjawab sambil sedikit tersenyum, “Suatu saat nanti kau akan tahu alasannya.”

“Lain kali beritahu aku dulu mengapa kau tak datang, aku hampir panik bahwa kamu sudah tak suka denganku.”

“Bagaimana mungkin aku tak suka kau, sementara engkau dan Renung hanya sedikit dari sebagian manusia yang menunggu kehadiranku?”

“Baiklah. Terima kasih, Malam.”

“Baiklah aku pamit dulu, sepertinya Bulan dan Awan ribut lagi. Katanya malam ini hujan ingin tampil.”

“Oh, iya. Aku ingin minta tolong satu hal lagi.”

“Apa itu?”

“Sampaikan pada Angin untuk istirahat sejenak bermusik. Aku ingin intim dengan Renung.”

“Baiklah, apa pun yang kau minta, Kawan”

Malam pun pergi dengan segala sepi dan rindu jutaan orang yang ia tanggung dalam penantian panjang menuju kekalahannya. Aku pun kembali berdua dengan Renung. Rumput menutup mata mereka, Angin menuruti perintah Malam. Bulan ternyata sudah selesai berdebat dengan Awan. Hujan pun mendapatkan keinginannya untuk tampil.

“Nah, Renung, apa topik kita malam ini?”

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.