Aku memulai perjalanan merantau sejak SMA. Sekolah yang letaknya berbeda pulau dengan rumah membuatku harus berpisah dengan orang tua dan tinggal di kos milik guru. Kenapa memilih sekolah yang jauh? Pertanyaan itu tentu jadi awalan cerita ini. Jawabannya sederhana, aku tidak mau kalah. Kotaku yang kecil dan menyenangkan memang cukup nyaman untuk ditinggali, tetapi aku tidak mau kalah dengan perasaan nyaman, karenanya aku meminta restu untuk merantau.

Orang tuaku tidak memaksa, terlebih sistem masuk sekolah seberang pulau itu memang harus ikut seleksi yang cukup ketat. Pikir mereka, aku akan kembali kalau memang tidak diterima. Pun kalau diterima, aku sudah cukup umur untuk bertanggungjawab atas pilihanku sendiri. Adikku, yang dua tahun lebih muda, malah sudah diterbangkan ke Medan untuk masuk pesantren setahun lalu. Orang tuaku sepakat memberi izin seluas-luasnya bagi kami—anak-anaknya—untuk mengakses pendidikan dimanapun lokasinya.

Kos pertamaku letaknya di gerbang depan sekolah. Meskipun ini milik guru, kos ini termasuk cukup besar dan ramai. Terdiri dari dua rumah berbentuk U dengan lapangan tengah yang biasa dijadikan tempat permainan futsal. Aku pernah mendengar seniorku memberi label bahwa kos ini isinya seperti anak-anak ayam. Aku tidak membantah. Penghuni kos memang beragam, mulai dari anak SMP sampai SMA, laki-laki dan perempuan. Wajar saja, pemilik kos ini adalah pasangan guru aktif yang mengajar di SMA dan SMP. Letaknya juga strategis, persis di depan gerbang sekolah. Hanya perlu menyeberang satu jalan, sudah sampailah ke sekolah tercinta. Dari balik pagar kos, aku bahkan bisa melihat anak-anak yang datang dan pergi, diantar orang tua, atau naik becak dan angkot.

Entah ini penyakit atau kutukan, tetapi anak-anak yang tinggal di rumah (atau kos) paling dekat dengan sekolah biasanya yang paling sering terlambat. Itulah drama anak kos yang paling sering kulihat: terlambat. Pemuda-pemuda perkasa dari kos cowok yang paling sering kena. Padahal ketika aku dan teman-temanku (geng perempuan) berangkat, mereka sudah rapi berjejer di teras kos sambil sarapan. Bisa-bisanya tetap terlambat, kena hukum, dan bahagia pula. Bapak kos yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan merasa, anak kos adalah cerminan kepemimpinan beliau dalam menertibkan siswa. Jadilah, setiap pagi sehabis terlambat, mereka disuruh lari keliling lapangan sekolah. Kemudian, setelah magrib di kos pun, mereka diberikan siraman yasin berjamaah lagi. Kalau sudah begini, semua pasti terkena dampaknya (termasuk anak SMP yang tidak tahu apa-apa). Semuanya, perempuan dan laki-laki, disuruh istigfar bersama di lokasi masing-masing. Anak-anak perempuan akan berzikir di rumah utama di sisi kiri dan anak laki-laki di rumah sisi kanan.

Kos ini tidak hanya dihuni oleh anak-anak beragama Islam, tetapi juga yang beragama Kristen. Tentu saja mereka tidak dipaksa berzikir, tetapi disuruh merenung di kamar masing-masing. Komplotan tukang terlambat paling banyak disumbangkan oleh penghuni kos laki-laki, apapun agamanya. “Semua wajib introspreksi diri, begitulah caranya kita menjadi lebih baik,” ujar Bapak Kosku.

Agenda zikir bersama rutin dilaksanakan, biasanya berlangsung selama 30 menit setiap selesai magrib. Kalau sedang marah atau sedang ada yang mengganjal, ibu kos yang memimpin zikir perempuan kadang-kadang suka memperpanjang dengan ceramah dadakan yang berlangsung 30 menit. Topiknya bisa apa saja yang dirasa beliau masih belum sempurna kami lakukan. Tentang belajar, motivasi, cita-cita, orang tua, pasangan, atau sekadar bercerita mengenai tafsir untuk mengingatkan kami perihal posisi kami sebagai anak rantau.

Dahulu rasanya menyebalkan sekali harus ikut agenda zikir dan kultum dadakan yang sangat lama dan membosankan itu. Topik pembicaraan beliau diulang-ulang, contoh dan studi kasusnya pun tentang diri dan pengalamannya sendiri. Setiap anak kos khatam mendengarnya. Biasanya, zikir selesai pukul 8.30. Setelah itu, semua akan berlari masuk ke kamarnya masing-masing, sibuk dengan janji dan tugas dari sekolah. Gerbang kosku selalu tutup pukul 10.00 malam, sementara aku dan teman-temanku biasanya baru kerja kelompok dan membeli perlengkapan kegiatan mulai pukul 9.00. Anak-anak laki-laki terkenal sebagai komplotan terlambat, sedangkan anak perempuan dikenal sebagai kelompok lompat pagar. Untuk urusan lompat pagar, anak laki-laki selalu lolos karena mereka punya cara membujuk Kak Teh, ponakan Bapak Kos yang bertugas memegang kunci kos, membukakan pagar. Kak Teh selalu lebih disiplin (dan sadis) kepada anak perempuan yang keluar malam, kecuali bila ia dibelikan martabak atau sate padang.

Sekarang, setelah enam tahun berlalu, labelku tetap sama: anak kos. Levelnya saja yang sedikit berbeda karena sekarang sudah jadi anak kuliahan. Definisi kos anak kuliah juga berbeda dan terkesan lebih bebas dari kos sebelumnya. Tidak ada keributan anak-anak bermain futsal di sore hari, jam malam yang identik dengan lompat pagar, dan dilema membelikan Kak Teh sate untuk membukakan pintu. Kenangan itu jadi pembelajaran yang secara tidak sadar membentukku punya pandangan dan standar sendiri mengenai menjadi anak kos.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.