Aku bukanlah siapa-siapa. Tak ada sesuatu yang spesial dalam diriku. Aku hanya seorang pemilik warung kopi di pinggir jalan raya yang ramai nan bising. Tak punya mobil atau uang banyak, aku hanya punya sebuah sepeda tua berkarat yang kukayuh untuk membeli bahan baku warung setiap subuh.

Aku pun terkadang melamun dan mengiri ketika melihat orang-orang di luar sana dengan kesibukannya masing-masing. Mobil berlalu-lalang tak habis-habis, motor berseliweran dengan klakson yang saling beradu suara, dan mereka yang kurang beruntung harus setengah berlari mengejar bus kota yang tak kenal kata terlambat.

“Ah, sudahlah, fokus saja dengan apa yang aku kerjakan,” kataku sambil menyeka keningku yang sudah berpeluh keringat ini.

Aku pun kembali melayani orang-orang yang sangat letih di warung ini. Wajah mereka tampak sangat lelah dan kusam. Kebanyakan dari mereka adalah buruh pabrik atau kuli bangunan. Tak banyak yang mereka pesan, hanya secangkir kopi panas dan juga beberapa gorengan. Setelah mengunyah gorengan dan menyeruput kopi panas, seakan-akan tenaga mereka yang sudah sirna pun datang kembali. Raut wajah mereka kembali berseri dan mereka pun mulai berbincang-bincang, dari hal politik sampai gosip teranyar kota ini.

“Eh, katanya wali kota kita kena kasus suap, ya?”

“Wah, gak tau, deh. Kena suap apa emangnya?”

“Katanya, sih, proyek mal gede di tempat ini.”

“Ah, masa, sih? Gendeng tuh walkot kalo sampe bikin mal di sini.”

Begitulah kabar terhangat dari kotaku. Kota yang katanya akan dijaga kearifan lokalnya, dijaga ketradisionalannya, dijaga pedagang kecilnya, tetapi malah mau dibuat mal besar yang hanya menguntungkan kepentingan sepihak, di lahan yang harusnya bukan untuk mal pula. Kami pun kecewa dengan bupati yang sewaktu kampanye akan tetap pro rakyat, tetapi ketika sudah memangku jabatan, lupa akan segala janjinya bagaikan kacang lupa akan kulitnya.

Hari demi hari pun bergulir. Semua aktivitasku bersama para pelangganku pun macam biasanya. Aku pergi ke pasar sewaktu subuh, menggoreng gorengan, menyeduhkan kopi kepada pelanggan, mencuci gelas dan piring mereka, dan begitu seterusnya. Aku pun kadang bahagia ketika melihat mereka tersenyum segar kembali, kadang kesal pula ketika mereka dengan santainya bilang, “Bang, ngutang dulu, ya. Setoran lagi seret, nih.”

Meskipun aku hanya seorang penjual kopi, aku tetap bahagia akan pekerjaanku. Aku tak bisa memilih apakah aku menjadi seorang sopir taksi, atau seorang kuli bangunan, atau seorang pejabat. Satu hal yang pasti, aku harus kerjakan apa yang seharusnya aku kerjakan dan berikan yang terbaik. Aku hanya ingin melihat senyuman para pelangganku karena itulah hal yang membahagiakan dari seorang penjaga warung kopi macam aku ini.

Akan tetapi, ketika suatu hari aku kembali membuka warung ini, goresan senyumku mendadak hilang oleh selebaran yang ditempel di depan warungku. Tatapanku kosong entah harus berbuat apa. Tak ada lagi pilihan dalam diriku. Aku pun menyobek selebaran itu dan menganggap bahwa itu tak pernah ada.

Meski aku sibuk melayani pelangganku yang tiap hari semakin ramai, raut kecemasanku tetap saja tampak. Bagaimana mungkin aku bisa menghidupi diriku dan memberi senyuman kepada orang-orang di hadapanku?

“Bang, kenapa kau tampangnya muram sekali? Ada masalah apa?”

“Ah, tidak. Hanya banyak pikiran.”

“Ayolah, Bang. Kau tak tampak macam biasanya hari ini.”

“Mungkin aku lagi tak enak badan, nih. Maklum belakangan ini sering sekali ujan.”

“Hati-hati, Bang. Cuacanya emang lagi gak kondusif. Saya aja mulai berasa flu, nih.”

Begitulah bagaimana aku mengelak dari pertanyaan-pertanyaan pelanggan-pelangganku. Badai masalah sudah melahap akal sehatku. Lamunan-lamunan yang mengada-ngada pun tebersit di kepala ini. Apakah ini sebuah kutukan Tuhan? Apakah aku kurang beribadah kepada-Nya? Atau, aku ada salah dengan seseorang?

Setelah matahari kembali ke peraduannya, aku membereskan sisa-sisa gelas dan piring yang telah dipakai. Aku pun sedikit demi sedikit menitikkan air mata dan memandang kepada sekitarku. Begitu banyak kenangan dari tempat ini.

Aku berpikir, apakah seseorang bisa memilih apa yang dia mau? Apakah aku bisa memilih untuk begini atau begitu? Apakah kekuatan yang bisa membuat orang dengan bebas untuk memilih ini atau itu?

Mereka yang duduk di singgasana pun memang bisa dengan bebas memilih untuk melakukan ini atau itu sesuka kehendaknya. Ribuan lembaran kertas persegi panjang berwarna pun bisa seolah-olah menjadi tuhan yang menentukan segalanya. Sedangkan aku, hanya seorang penjaga warung kopi yang tak bisa berbuat apa-apa. Takdir menuntunku untuk tetap menjadi seperti ini.

Andai aku bisa memilih arah dan nasib hidupku. Namun, ada satu hal yang tak bisa kupilih dan tetap harus kujalani, yaitu melihat sumber penghasilanku rata dengan tanah. Andai aku bisa memilih untuk tidak melihat kepahitan ini, tetapi pada kenyataannya, inilah pilihan yang ada untukku.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.