Jauh sebelum pandemi korona menyerang dunia, suatu malam di Depok pada awal 2019, saya berkunjung ke indekos seorang teman. Ia berasal dari daerah yang sama dengan saya: Malang. Bedanya, ia dari Malang bagian kota, sedangkan saya dari Malang bagian susah sinyal. Saya tidak datang sendiri, tetapi bersama seorang teman lain yang juga dari Malang. Malam itu kami serupa kumpulan Aremania versi mini yang hendak menonton Arema di Stadion Kanjuruhan minus atribut “Salam Satu Jiwa”.

Seperti biasa, kami saling bertanya soal progres kuliah. Maklum, kami semua berbeda jurusan sehingga jarang bertemu. Mereka kemudian bercerita tentang persiapan lomba debat, pergumulan akademik, dan perseteruan politik kontemporer. Perihal kerjaan setelah lulus pun mereka bahas. Sementara itu, saya duduk selonjor di dekat pintu sambil menyimak. Dalam hati, saya membatin bahwa mereka keren dan penuh rencana.

“Kamu bagaimana kabarnya, Rits?” tanya seorang dari mereka tiba-tiba. Tanpa pikir panjang, saya menjawab, “Tidak bagaimana-bagaimana. Begini-begini saja. Masih di Bumi.”

Tentu, saya tahu bahwa penerjemahan kata-kata itu ke dalam bahasa Indonesia menjadikannya kurang lucu karena tak terasa dialek khas Malang-nya dan tak terpahami konteks utuhnya. Namun, percayalah, jawaban itu membuat mereka tertawa dan berujung ucapan frasa benar juga. “Benar juga! Filosofis!” kata mereka. Saya tak tahu letak filosofisnya. Meskipun begitu, saya ikut tertawa karena mereka tertawa.

Kejadian itu mengingatkan saya akan sebuah ucapan dari majalah kampus ketika saya mahasiswa baru. Pada kover depan bagian dalam, terdapat tulisan berukuran besar yang menohok. Katanya, “Selamat datang mahasiswa biasa di kampus yang biasa-biasa saja.” Luar biasa! Ketika banyak kampus membangga-banggakan mahasiswa baru sebagai agen perubahan, putra-putri terbaik bangsa, atau calon menantu idaman, kampus yang saya masuki itu justru mengatakan bahwa mahasiswa dan kampusnya biasa-biasa saja. Saya pun berkata, “Benar juga! Filosofis!”

Mungkin kata-kata itu merasuk benar ke alam bawah sadar sehingga beberapa tahun kemudian saya dapat berkata bahwa saya masih begini-begini saja, masih di Bumi. Mungkin juga tidak sebegitunya. Mungkin ada sebab lain. Mungkin ada kemungkinan lain.

Yang jelas, pernah ada hari ketika saya menyadari bahwa Bumi sudah sangat tua. Menurut salah satu berita di Kompas.com, usia Bumi sudah mencapai 4,54 miliar tahun, sedangkan galaksi Bima Sakti berusia 13,2 miliar tahun. Kemudian, di sinilah, pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, seorang bocah bernapas dan mengusahakan dapat makan nasi, serta membersihkan tempat tidur hingga rapi, meskipun sering kali hanya bergantung rencana Ilahi.

Ada miliaran tahun sebelum saya ditakdirkan lahir dalam masa orde Baru. Ada miliaran peristiwa hebat yang terjadi, baik yang tercatat maupun tidak. Ada miliaran orang membuat cerita uniknya masing-masing. Kesadaran itu membuat saya merasa tak ada yang perlu dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan. Semua hal terjadi. Singkat kata, semua biasa-biasa saja.

Ada yang lahir dan ada yang mati. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang menang dan ada yang kalah. Ada yang be-revolusi dan ada yang ber-evolusi. Ada yang berbahagia dan ada yang bersedih. Ada yang menjadi tokoh dunia dan ada yang menjadi buruh dunia. Ada yang mati wajar dan ada yang mati bunuh diri. Ada yang sering pergi ke luar negeri dan ada yang baru keluar pulau sekali. Ada yang punya banyak mantan dan ada yang belum pernah berpacaran. Ada yang gila kerja dan ada yang gila tidur. Ada yang sering “hah?” dan ada yang sering “ah!”. Ada yang makan di restoran dan ada yang makan nggak makan yang penting kumpul. Ada yang mudah jatuh cinta dan ada yang mudah patah hati. Selalu akan ada yang ada dan ada yang tidak ada.

Semua begitu biasa. Jatuh cinta pun biasa saja menurut Efek Rumah Kaca. Semua terjadi dalam garis masing-masing. Kata Radiohead, “Everything in its right place.”

Saya merasa 99 persen hal di dunia ini biasa saja. Satu persennya bebas ketombe. Hehe. ☺

Namun, ada satu hal yang lebih dari biasa. Hal itu baru saya rasakan tadi pagi. Saya merasa lebih dari biasa ketika duduk di depan pintu kamar indekos, menikmati cahaya pagi, mendengarkan burung-burung bernyanyi, melihat handuk berkibar-kibar diterpa angin, dan merenung, serta berswatinjau atas pencapaian-pencapaian hari ini yang lima, sepuluh, atau lima belas tahun lalu tak pernah saya bayangkan akan terjadi. Pencapaian itu tak selalu berarti prestasi atau kemenangan atas suatu lomba karena, toh, saya merasa hidup ini bukan perlombaan. Saya tidak merasa sedang bersaing memperebutkan sesuatu.

Yang ingin saya garis bawahi adalah betapa lebih dari biasa kegiatan pagi ini. Tak semua orang dapat menikmati pagi. Tak semua orang dapat menjadi dirinya sendiri.

Memang ada kala ketika saya merasa benar-benar hampa, merasa not living, just killing time, seperti kata Radiohead. Ada kala ketika saya begitu menyesali kesalahan. Ada kala ketika saya harus smile and learn to pretend, seperti kata Dream Theater. Namun, ya, bagaimana lagi? Bukankah itu juga sudah biasa terjadi? Toh, pada akhirnya, semua pencapaian terhebat umat manusia akan terkubur atau terlebur, hanya menjadi kisah kecil sesaat di buku sejarah sekolahan yang jarang atau bahkan tidak pernah dibaca murid-muridnya. Mungkin beberapa murid akan mengingat nama si tokoh dan pencapaiannya, tetapi berapa lama? Ingatannya akan berhenti karena mereka pun suatu hari nanti akan mati. Semua akan menjadi biasa yang sejati, seperti Meursault yang ditulis oleh Camus dengan pasti.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.