Suara hujan terdengar deras mengguyur. Siang tadi, Kota Medan terik cuacanya. Namun, menjelang sore, cahayanya hilang ditelan langit mendung. Malam larut begini, isi langit tumpah semua tanpa jeda. Aku sampai menyiapkan ember di pojok kamar, bersiap kalau tiba-tiba ada yang bocor. Anginnya juga kencang, suara genteng gemerisik seperti akan terlepas dari rangkanya.

Kalau di film horor, harusnya sekarang mati lampu, disusul dengan bayangan dan suara aneh. Untungnya tidak, Tuhan masih sayang padaku yang sendirian di kamar kebingungan sendiri menyelesaikan tenggat: menulis swalatih.

Pekan ini aku bingung ingin menulis apa. Cerpen, sudah pernah kukirim. Pekan pertama tugas swalatih, aku dengan pede membuka draf blog yang sudah berdebu. Kubaca-baca ulang, mencari cerita dari blog yang masih relevan untuk dibagikan saat ini. Setelah beberapa lama, aku memilih tulisan berjudul, Aku Adalah Kamu. Cerpen dramatis yang ditulis saat galau berat, tetapi hanya bisa marah ke diri sendiri melalui cermin. Tulisan yang diendapkan ternyata berdampak pada perubahan yang besar. Setidaknya sekarang aku jadi paham kalau ejaanku masih payah.

Pekan selanjutnya, aku lanjutkan dengan meresensi buku. Sepertinya resensi buku tentang naik gunung itu gagal karena lebih banyak porsi curhat daripada menjelaskan isi buku. Mungkin kalau penulisnya tahu, aku akan diburu untuk dimintai pertanggungjawaban karena menjelaskan sesuatu yang sifatnya subjektif tanpa memberikan substansi yang pasti. Belakangan aku tahu, ternyata selain resensi, ada juga tulisan deskripsi. Kemampuan meresensiku belum tuntas, tetapi profesi menulis deskripsi juga asyik untuk dicoba.

Sekali, pernah, aku mengirim potongan novel yang tidak pernah rampung. Awalan novel yang terinspirasi dari anak-anak pesantren yang diberikan kesempatan belajar ke luar negeri dengan beasiswa. Pekan itu, banyak komentar yang muncul, katanya tulisannya gantung dan mereka menagih lanjutan. Aku pun mau, tetapi sepertinya Mun (tokoh utama dalam cerita) enggan mengunjungiku yang sedang sering lupa dan salah ketik. Kata Mun, dia sudah berbesar hati pada penulis yang merajut awalan alur dengan tragis karena ditinggal temannya menikah. Mun bisa ikhlas pada takdir itu, tetapi Mun tidak terima pada penulis yang mengendapkan dia terlalu lama. Harusnya ada lanjutan tentang dia dan Nur, sayangnya, itu tidak pernah ditulis kembali. Mun memilih melanjutkan studi sambil mencari pasangan diam-diam tanpa diketahui penulis. Begitulah alasan kenapa aku belum bisa melanjutkan novel itu.

Sekali waktu, aku pernah mengirim cerita tentang perjalanan ke Tebing Tinggi. Kota yang jaraknya dua jam dari Medan dengan kereta api. Cerita tentang perjalanan yang bermodal izin orang tua, bertemu dengan orang-orang baru, dan melihat langsung perkembangan kenormalan baru di transportasi umum. Gaya hidup berubah, tetapi ternyata masyarakat baik-baik saja. Semua orang beradaptasi dengan caranya masing-masing. Perjalanan berkesan yang menjadi langka tahun ini.

Lalu, Anak Kos jadi pilihan ide swalatih pekan lalu. Intinya tentang kos-kosan masa SMA-ku yang sedikit menyebalkan, tetapi nyata. Aku benar-benar jadi tidak takut lagi melompat pagar sejak itu, bahkan aku bisa lihai mencari titik pijakan agar mudah melakukan lompatan. Aku baru menyadari kemampuan baru itu saat aku menulisnya di swalatih pekan lalu.

Maka pekan ini, harus kulanjutkan dengan tulisan apa, ya? Tidak ada pesan moral yang ingin dibagikan. Aku juga belum pandai meresensi isi buku. Tulisan deskripsi juga butuh banyak referensi. Bagaimana dengan tulisan kebahasaan? Wah, berat. Ada banyak editor yang siap mengkaji ulang tulisanku. Saat rasanya buntu, aku teringat pesan Mas Yudhis pekan lalu di pembimbingan pramubahasa. Katanya, “Tulis yang ingin kamu baca.” aku merenung, sepertinya aku ingin membaca diriku dari tulisan ini. Oh, ternyata pekan ini aku sedang ingin menikmati perkembanganku melalui swalatih.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.