Bucin
Saya sebenarnya ingin membahas tema yang jauh lebih serius, seperti pengaruh sastra asing terhadap sastra Indonesia, pandangan-pandangan dalam linguistik, atau perdebatan di ranah filsafat. Akan tetapi, karena ulah oknum tertentu di Narabahasa yang selalu menyebut saya “bucin”—sebut saja Dessy Irawan alias DI, saya tak tahan untuk memberi tanggapan atas perkataannya tersebut. Maka, di sinilah, di swalatih ini, saya akan menanggapinya.
Jadi, begini, ya, Mbak Dessy yang hatinya bagai baja produksi Krakatau Steel. Seorang manusia tidak lahir dari ketiadaan. Ia tak muncul begitu saja seperti seorang tukang parkir di daerah saya. Manusia hadir atas dasar cinta, setidaknya cinta antara ayah dan ibunya—walaupun ada juga, sih, yang hadir atas dasar “kecelakaan”. Namun, coba perhatikan lebih dalam. Cinta mengawali napas manusia. Dengan cinta, kehidupan ini dimulai, berlangsung, dan mungkin diakhiri. Cintalah yang membuat daun-daun gugur terasa hidup. Cintalah yang membuat tetes-tetes hujan terasa hangat. Cintalah yang membuat jarak yang jauh menjadi rindu. Pernahkah Mbak Dessy merasakan itu?
Saya yakin Mbak Dessy pernah mendengar kisah Ramayana, walaupun cuma sebisikan angin. Dalam kisah tersebut, terdapat tiga tokoh utama: Rama, Sinta, dan Rahwana. Rama, putra-kerajaan yang tampan dan sakti, memiliki istri yang cantik bernama Sinta. Namun, ketika suatu hari mereka pergi ke hutan, Sinta diculik dan dibawa ke tempat tinggal Rahwana, seorang raja berkepala sepuluh.
Banyak orang menganggap bahwa Rahwana adalah tokoh jahat sehingga tak layak untuk dikagumi. Namun, penjahat macam apa yang membangun sebuah taman megah demi tawanannya? Rahwana membangun Taman Argasoka untuk Sinta. Ia selalu membaca puisi untuk Sinta di gerbang itu setiap pagi. Sinta tak pernah jadi kurus karena Rahwana tak berhenti menyediakan makanan terbaik untuknya. Dan, jangankan menyakiti, menyentuh Sinta pun ia tak pernah. Jadi, kita bisa melihat bahwa perilaku bucin juga bisa menghasilkan sesuatu yang positif.
Tak hanya positif, bucin pun bisa mengakibatkan produktivitas. Ahmad Dhani, misalnya. Jauh sebelum menjadi sosok politis, ia adalah seorang jenius dalam bidang musik. Lagu-lagunya tak berhenti di satu zaman saja. Di antara sekian banyak lagu ciptaannya, ada beberapa yang dibuat khusus untuk Maia Estianty, seperti “Cintakan Membawamu Kembali” dan “Kasidah Cinta”.
Berdasarkan judulnya, kita pun pasti paham bahwa kekuatan cinta telah mendorong perasaan Ahmad Dhani untuk membuat mahakarya bagi seorang yang dicintainya. Lalu, meskipun dibuat khusus untuk Maia, lagu itu didengarkan oleh banyak orang. Orang-orang yang sedang kasmaran menggunakan lagu itu untuk mengungkapkan perasaannya. Jadi, kebucinan seseorang, dalam hal ini Ahmad Dhani, telah turut serta memutar roda kehidupan orang lain.
Toh, bucin tak sekadar antarmanusia. Mbak Dessy tahu Steve Irwin? Hampir sepanjang hidupnya dihabiskan bersama hewan-hewan, baik yang jinak maupun liar. Jika bukan karena cinta, tak mungkin ia mau menyentuh mereka. Coba lihat senyumnya ketika ia menggendong anak buaya. Senyum itu begitu tulus.
Namun, baiklah jika kata bucin hanya disebut untuk hubungan antarmanusia. Bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika bucin terlalu banyak menanggung beban makna negatif, sementara banyak hal positif yang dihasilkannya. Siapa yang membebaninya? Ya, betul, orang-orang seperti Mbak Dessy dan Mbak Dessy itu sendiri.
Saya mengerti bahwa lontaran kata bucin terhadap saya itu dimaksudkan Mbak Dessy sebagai candaan. Akan tetapi, di titik inilah saya merasa sedih, alih-alih marah. Saya sedih karena jangan-jangan Mbak Dessy sendirilah yang rindu untuk membucin. Kita tahu, kan, bahwa orang yang tidak memiliki sesuatu cenderung menyerang orang yang memiliki sesuatu itu. Ia menyerang hanya untuk menyembunyikan ketidakpunyaannya.
Jadi, bagaimana, Mbak Dessy? Masih kuat berjalan sendiri?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.