Bunuh Diri
Malam kemarin, ketika berselancar di Twitter, saya melihat sebuah kiriman dari seorang teman yang berinisial E. Di situ, ia menyampaikan rasa haru atas perilisan film dokumenternya. Film itu bercerita tentang salah satu kawannya yang telah pergi tujuh tahun lalu.
Saya tak menontonnya sampai selesai karena pemeran dalam dokumenter tersebut segera mengingatkan saya atas kiriman lama E di Instagram. Ketika membaca takarirnya, mata saya tertuju pada satu nama pengguna. Saya klik. Muncullah nama kawan E itu. Saya pun lekas mencarinya di Google.
Betapa sedih, berita tentang seorang pelajar yang bunuh diri bermunculan di laman pencarian. Saya membuka salah satu portal berita. Kawan E yang berinisial G itu meninggal pada percobaan bunuh dirinya yang ketiga. G mengakhiri hidup dengan cara menggantung dirinya. Ia melakukannya setelah putus hubungan dari sang kekasih.
Tindakan G itu membuka ingatan saya akan kejadian belasan tahun lalu ketika saya masih menjadi murid di sekolah dasar. Pada suatu pagi, saya dikejutkan oleh berita tetangga yang mengabarkan bahwa S meninggal dunia setelah menggantung diri di kamarnya. S adalah kakak teman saya yang berinisial D. Motifnya, dengar-dengar, S tidak direstui oleh ibunya untuk menikah. Alasannya, saya duga, kondisi ekonomi mereka masih sangat buruk sehingga pernikahan terasa sebagai hal yang mustahil untuk dilakukan.
Kejadian itu rupanya memukul hati D dengan sangat keras. Sebagai adiknya, D tentu merasa kehilangan. Ia tak masuk sekolah selama berhari-hari. Sifatnya pun agak berubah setelah peristiwa itu.
Sekitar delapan tahun kemudian, peristiwa serupa terjadi lagi. Kali ini terjadi pada ibu dari teman sekelas saya, teman yang nomor presensinya bersebelahan dengan saya. Pada suatu siang, saudara teman saya itu datang ke sekolah dengan tergopoh. Ia menjemput teman saya.
Saya dan yang lain merasa bingung atas hal yang terjadi. Beberapa menit kemudian, kami diberi tahu oleh salah satu staf sekolah bahwa ibu teman saya itu menggantung diri di rumahnya. Yang menemukan jasadnya pertama kali adalah adik teman saya.
Pada saat itu, kami merasa antara percaya dan tak percaya. Sebabnya, seminggu sebelumnya, kami masih berjumpa dengan si ibu di rumahnya. Semua terasa baik-baik saja.
Sampai sekarang, saya tak tahu motif bunuh diri beliau. Yang saya tahu, tepat sebulan kemudian suaminya meninggal. Teman saya dan adiknya menjadi yatim piatu. Mereka kemudian berpindah sekolah dan diasuh oleh paman dan bibinya di kota yang sekarang saya tinggali.
Apakah peristiwa semacam itu sudah tak pernah saya dengar lagi? Ternyata masih. Setelah lulus, saya mendapat kabar bahwa guru saya yang berinisial N meninggal setelah menggantung diri. Saya pun mencari tahu penyebabnya, baik melalui berita teman maupun berita media massa.
Sungguh menyayat berita yang saya dapat. Beliau ternyata sudah lama mengidap skizofrenia. Saya sama sekali tak menduganya karena beliau, sejauh yang saya tahu, tampak baik-baik saja.
Dari keempat peristiwa gantung diri itu, saya pun menyadari bahwa permasalahan kejiwaan bukan perkara remeh. Permasalahan tersebut nyata dan penting untuk dipahami oleh semua orang. Akan tetapi, memang agak susah mendeteksi gejalanya karena, terbukti, tiga dari empat orang yang saya sebut di atas tampak baik-baik saja sebelumnya.
Kita tak pernah tahu permasalahan sesungguhnya yang sedang dihadapi oleh orang lain. Kita tak pernah tahu bahwa seminggu atau sebulan kemudian orang yang kita temui mengakhiri hidupnya. Kita tak pernah tahu karena terkadang mereka juga tak ingin kita tahu. Atau, bisa juga, kita tak pernah tahu karena kitalah yang tak ingin tahu.
Ingat, menurut WHO dalam sebuah berita di Kompas, setiap empat puluh detik, rata-rata ada satu orang di dunia yang tewas akibat bunuh diri. Bersumber dari berita yang sama, setiap tahun, ada hampir 800.000 kasus kematian akibat bunuh diri. Itu berarti permasalahan bunuh diri merupakan hal yang serius.
Sebagai orang yang tak mendalami psikologi sehingga kurang tahu langkah-langkah pencegahan bunuh diri, saya hanya dapat berpesan agar kita semua selalu menjaga diri, khususnya secara rohani. Semoga kita senantiasa menyayangi diri sendiri dan memperhatikan orang sekitar. Semoga kita mampu menyadari sebelum mereka mengakhiri diri dan kita terlambat untuk peduli.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.